MAAFKAN aku, ya, semoga gak bosan membaca kisah perjalananku. Aku memang suka cerita tentang beragam perjalananku karena dari pengalaman nyata itulah aku mendapat banyak pelajaran berharga tentang hidup yang tidak kudapat di sekolah. Belum juga keliling dunia sih -berharap suatu saat nanti impianku terwujud- tapi dari hasil jalan-jalan entah itu cuma tur kecil ke pasar deket rumah (hahaha.. tur ke Malabar, Pasar tradisional Tangerang) sampe tur besar ke negara-negara yang dulu cuma ada dalam anganku.
Pernah di tahun 2011, saat aku dalam perjalanan wisata ke komplek Candi Gedong Songo Ambarawa, HP-ku berdering. Tiba-tiba temanku Mas Mathias menawarkan jalan-jalan ke Shanghai-Beijing sepuluh hari. Ada tiket promo Garuda, nih, murah cuma tujuh jutaan PP, katanya bersemangat dari seberang telpon. Mendengar kata Shanghai-Beijing seketika adrenalinku meningkat. Beijing itu Eropanya China, kata Mas Mathias lagi. Kamu akan terkagum-kagum melihat keindahan kotanya. Wah, rasanya kalimatnya itu gak perlu diulangi dua kali buatku. Aku langsung saja bilang,”Ikuuttt….”!!
Memang bener, ya, apa yang diungkapkan para ahli dalam majalah National Geographic edisi Januari 2013 bahwa manusia memiliki gen pengembara dalam dirinya. Menurut penelitian ada varian gen yang disebut DRD4-7R yang membuat manusia memiliki rasa penasaran dan selalu ingin menjelajahi tempat lain di pelosok dunia hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya.
Bahkan dikatakan tidak ada mamalia yang sibuk berpindah-pindah seperti manusia (Svante Paboo, Ahli Genetika Keevolusian, National Geographic, Januari 2013). Mulai dari manusia yang menyasar ruang angkasa, hutan-hutan misterius di Amerika dan Afrika, kutub-kutub bumi yang super dingin sampai pencarian benua baru untuk ekpansi yang tidak ada habisnya.
Jadi gak heran aku belum juga sampai tujuan wisata sekarang sudah mulai merencanakan petualangan baru lagi. Kemaruk? Mungkin. Mupeng (muka pengen)? Lebih mungkin lagi atau Mumpung? Bisa jadi. Lha wong temanku ini baik banget tiket PPku sudah langsung ditalangi dan diissued hari itu juga.
Tapi yang jelas aku jarang bilang tidak. Jawabannku mostly adalah iya. Terutama untuk peluang dan kesempatan langka, aku udah gak pake otak mikirnya nanti belakangan. Bilang iya dulu. Aku selalu yakin jawaban ya mengandung banyak kemungkinan dan terbukanya jalan menuju apa yang kuimpikan.
Waktu aku diminta pimpinanku di asrama susteran Yogyakarta untuk berangkat ke Sumba, pulau terpencil yang gak ada di peta, aku bilang iya! Padahal aku tidak tau apa tugasku dan berapa lama aku akan tinggal di sana. Yang terjadi beberapa hari kemudian aku sudah check in di kapal besar Dobon Solo dan berlayar di laut selama empat hari tiga malam. Kapal berkapasitas 500 penumpang itu berangkat dari pelabuhan Banyuwangi menuju Irian Jaya. Kapal akan melewati dermaga Sumba dan di situlah aku turun pukul tiga dinihari. Dan siapa penjemputku? Seorang sopir dan mobil ambulans rumah sakit!
Pengalaman berharga bekal hidupku aku dapatkan selama setahun aku mengembara di pulau kecil ini sebagai pengajar anak-anak putus sekolah. Di sana aku belajar makan sambal belalang dan mandi dengan air pelepah pisang saking tandusnya pulau itu tiada air dan langka makanan.
Untuk seterusnya habitku bilang iya tidak bisa terpisahkan dalam setiap respon menanggapi petualangan baru. Petualangan tidak selalu dalam arti bepergian tetapi saat menemukan peluang pekerjaan, kesenangan bertemu teman baru, tantangan masuk komunitas baru bagiku itu bagian dari adventure kehidupan.
Baru-baru aku diminta untuk membantu pendampingan keluarga di Paroki. Setiap Kamis malam aku dan suamiku bersama Pastor mendatangi lingkungan-lingkungan dan kami sebagai pasutri diminta sharing pengalaman hidup berkeluarga. Aku bilang sama suamiku apalah kita ini usia perkawinan baru empat belas tahun dan apalah yang bisa disharingkan? Kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Tetapi rupanya Tuhan memilih yang tidak punya apa-apa supaya Tuhan dapat berkarya dengan KuasaNya.
Hal ini aku yakini sebagai sebuah kekuatan manakala aku harus menerima situasi dan keadaan yang tak kuharapkan. Aku pernah sedih juga melihat teman yang mati-matian menolak memimpin sebuah ibadat. Alasannya klasik : tidak bisa bicara, tidak punya waktu dan lain-lain. Alangkah cepatnya kita membatasi kemampuan diri dan rahmat Tuhan.
Aku seringkali melihat jawaban Ya justru mendatangkan keajaiban dan banyak kemustahilan menjadi mustahil. Alangkah senangnya melihat seorang murid yang kesulitan belajar tetapi tetap mau mengatakan: Ya, mau belajar lagi, daripada jawaban skeptis: Tidak, aku tidak bisa dan tidak mungkin aku bisa.
Aku senang dengan murid yang bilang: Iya!
Nah, kalau kita yang jahat saja senang melihat murid menjawab Ya, apalagi Tuhan. Dia Pemilik Kehidupan punya ribuan cara untuk membentuk dan memroses manusia menjadi lebih baik lagi asal kita mau katakan satu : Ya untuk setiap situasi dan kondisi di luar kendali kita.
Mungkin itulah salah satu jenis petualangan hidup yang ditawarkanNya.
Selamat mengatakan YA, ya!
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)