BAK irama orkestra, cekcok tentu saja ikut mewarnai alunan musik orkestrasi bernama hidup berkeluarga. Kalau berkeluarga dan mau merencanakan hidup berkeluarga, jangan heran kalau hidup perkawinan ini akan selalu saja diwarnai hal-hal yang barangkali kita tidak inginkan terjadi: percecokan antara suami dan istri.
Jadi ya jangan heran, kalau sekali waktu –sebagai seorang suami dan kepala keluarga—istri mulai cemberut, pasang muka galak dan akhirnya berujung pada hal ini: memarahi, mencemooh, menyindir kita dalam kapasitas sebagai suami. Nah, pada momen-momen buruk seperti ini, siapa tahu kita lalu digelayuti perasaan “menyesal”: kok mau-maunya saya mengawini dia!
40 tahun menikah
Sebagai bapak dari tiga orang anak dan beberapa cucu, bolehlah saya sedikit berbangga. Meski perjalanan hidup bahtera pernikahan saya pun juga tak luput dari “ocehan” istri, namun Tuhan sudah berkenan memberikan rahmatNya: umur perkawinan kami sudah berjalan 40 tahun.
Orkestrasi “ocehan” istri sudah ribuan kali terjadi sepanjang perjalanan 40 tahun ini. Saya pun juga yakin, istri saya pun ribuan kali mengalami kekecewaan sekaligus marah, ketika ocehan minor nerocos dari mulut saya. Terus-terang, yang terakhir ini porsinya pasti lebih banyak: saya yang lebih suka ngoceh dibanding ibunya anak-anak.
Ini jelas sebuah “musibah” untuk tak mau mengatakannya sebagai godaan dalam hidup perkawinan. Tapi, itu tak mengapa.
Hari-hari ini, saya tengah berada di San Fransisco, AS. Saya mencoba bertanya, bagaimana respon keluarga-keluarga katolikAmerika ketika ada orkestrasi “ocehan” bergema di dalam rumah mereka. Pertanyaan saya simpel saja: Apakah mereka juga “tahan banting”, mengingat tingkat perceraian di AS sangat-sangat tinggi?
Feeling saya demikian. Pikir-pikir saya, pasti banyak keluarga mengaku tidak tahan alias mending mencari “solusi kilat” agar orkestrasi ocehan itu segera berhenti. Sang kondukter menghentikan alunan orkes dan para musisinya disuruh meninggalkan posisinya berikut membawa partiturnya masing-masing. Singkat kata: mereka rasa-rasanya lebih suka cerai daripada berlama-lama hidup dalam tekanan perkawinan full ocehan.
Meski tidak punya data akurat tentang tingginya angka percerain di kalangan keluarga-keluarga di AS, namun sangat jelas bahwa jumlah keluarga yang akhirnya pegatan (pisah) itu ruaar biasa banyaknya. Pegatan karena ya itu tadi: mana tahan?
Janji perkawinan
Saya tidak tertarik menggulirkan teori bagaimana sebaiknya menjalani hidup perkawinan atau malah membayangkan bagaimana seharusnya bersikap bila orkestrasi “ocehan” itu melanda keluarga kita. Saya lebih ingin berbagai kisah, bagaimana saya sebagai orang katolik harus merawat komitmen atas janji pernikahan secara katolik: Mencintai pasangan hidup dalam untung dan malang dan tetap bertahan dalam relasi itu selama hayat dikandung badan.
Bagi saya, solusi sederhana sering kali mengemuka: biarin saja, toh masih boleh “ambil jatah”. Tentu hal ini bagi saya merupakan solusi kurang oke. Persoalanya, solusi macam begini hanya sifatnya sementara. Satu pihak memaksa diri untuk memendam perasaan dan bukannya duduk bersama menyelesaikan “konflik” di antara mereka. Terlalu dipendam, bisa saja sekali waktu akan meledak hingga sangat mungkin malah berakhir pada pegatan.
Nah, pegatan inilah yang mesti kita cegah agar jangan sampai terjadi. Ajaran dan Hukum Gereja Katolik selalu mengajarkan perkawinan hanya satu kali untuk selamanya. Baru boleh menikah lagi, kalau salah satu pasangannya meninggal atau karena sebab-sebab lain. (Bersambung)
Dr. A. Winoto Doeriat, purnakarya tinggal menetap di Jakarta.