JAKARTA, SESAWI.NET –
KEHIDUPAN yang sangat mandiri dan indivualis tampak dan terasa sekali di kalangan para pastor di Amerika. Paling tidak itu yang dialami Romo Yohanes Teguh Raharjo CICM yang sudah tinggal dan bertugas di Amerika Serikat tepatnya di Paroki St. Eugene Carolina Utara, Amerika Serikat selama sembilan tahun.
Tidak seperti para pastor paroki di Indonesia yang selalu rutin dijamu atau disuguh masakan oleh umatnya nyaris setiap hari, John panggilan akrab pastor ini merasakan betul betapa hidup di Amerika memang terasa lain sekali dibanding di Indonesia.
“Tiap hari saya masak sendiri. Paling yang bisa langsung dimasak ya bahan makanan seperti ikan. Kalau sayur biasanya sayuran mentah karena gampang.” jelasnya.
Jadi, memang di kebanyakan pastoran di Amerika, tidak disediakan pembantu khusus atau koster yang melayani pastor dari hal pribadi sampai urusan gereja. Tugas koster di Gereja lebih pada pemeliharaan gereja secara umum dan tidak sampai menyangkut urusan melayani pastor secara pribadi seperti menyiapkan makanan.
Dalam urusan transportasi pun, seorang pastor paroki tidak pernah diberi jatah sopir pribadi. Mungkin di beberapa wilayah di Indonesia hal yang sama juga terjadi, tapi perbedaan itu baru terasa ketika yang kita temui itu seorang uskup.
Serba mandiri
Menurut John, sebagai pejabat gereja yang membawahi banyak pastor dengan seabrek kegiatan, seorang uskup di kebanyakan wilayah Amerika tidak pernah memiliki sopir pribadi. Setidaknya itu yang ditemuinya selama ini.
“Kemana-mana ya nyetir sendiri. Mereka tidak mempunyai sopir pribadi.” ujar pastor lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini saat ditemui SESAWI.NET di Jakarta.
Soal sopir ini, John begitu panggilan akrabnya menyebutkan, bisa jadi memang demikian gaya orang Amerika pada umumnya. Mereka justru bangga bila bisa mengendalikan semuanya sendiri, tanpa bantuan orang lain. “Nah, itu terbawa juga dalam kehidupan gereja,” ujar John.
Namun, lebih dari itu, urusan memfasilitasi pastor tentu saja butuh biaya yang tidak sedikit. Ini akan menyulitkan bila dalam suatu paroki jemaatnya kebanyakan adalah orang miskin. “Mau dapat uang dari mana?” tanya John. Meski istilahnya itu uang dari keuskupan toh sebenarnya itu adalah uang jemaat.
Jadi, tak heran bila pembantu rumah seorang pastor tidak tinggal menetap di pastoran seperti kebanyakan pembantu rumah tangga pastoran di Indonesia. Mereka hanya datang sekali dalam seminggu selama satu atau dua jam. “Ya, untuk membesihkan rumah,” jelas John. Sementara ada orang lain lagi yang tugasnya menyeterika baju, itu pun datang sekali seminggu.
Bisa jadi di beberapa tempat di Indonesia hal yang sama bisa kita temui dimana ada pastor-pastor yang tinggal dan hidup mandiri seperti itu. Namun, rasanya hal semacam tidak bakal terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Menjadi pastor memang harus mandiri, harus bisa melayani dan mengurus diri sendiri untuk kemudian dapat melayani orang lain.