“Mangan Tempe Rasane…”

0
503 views
Para seminaris di Lalian, Atambua, berlatih membuat tahu tempe untuk lauk. (Ist)

Puncta 25.02.23
Sabtu Setelah Rabu Abu
Lukas 5: 27-32

SEMUA orang pasti suka makan, apalagi makan bersama dengan orang-orang yang dikasihi.

Yang membuat makan enak itu bukan apa yang dimakan, tetapi dengan siapa kita makan.

Lagunya Ndarboy mengungkapkan hal itu, “Mangan tempe rasane kaya mangan lawuh sate. Senadyan sak anane, sing penting ro kowe.” (Makan tempe rasanya seperti makan lauk sate. Walau seadanya tetapi yang penting makan bersama kamu).

Ketika bertugas di Paroki Nanga Tayap, Rama Pamungkas dan banyak romo suka mampir dari perjalanan jauh.

Kadang ada yang menginap, banyak juga yang hanya singgah untuk ngopi-ngopi sambil bercanda ria.

Makan pagi bersama menjadi ajang bercerita “ngalor-ngidul” penuh gelak tawa. Ada-ada saja kisah-kisah lucu dan menarik yang bisa dibagikan.

Apalagi kita jarang ketemu karena jarak tempuh yang sangat jauh. Bisa puluhan bahkan ratusan kilometer jauhnya. Maka perjumpaan dan makan bersama menjadi ajang membangun persaudaraan.

Dalam perjumpaan itu kita merasa punya sahabat yang bisa diajak “curhat.” Dengan adanya sahabat, kita tidak merasa sendirian. Dengan sahabat, kita semakin dikuatkan.

Dalam Injil, Yesus memanggil Lewi, seorang pemungut cukai menjadi pengikut-Nya. Lewi sangat bersukacita, maka dia mengundang Yesus dan teman-teman-Nya makan bersama di rumahnya.

Kegembiraan Lewi sangat beralasan. Bisa jadi selama ini dia merasa sendirian, dikucilkan dan dijauhi banyak orang karena jabatannya sebagai pemungut cukai. Ia digolongkan bersama dengan orang-orang berdosa.

Ketika Yesus merangkulnya sebagai sahabat, memasukkannya dalam kelompok murid-murid-Nya, Lewi mengundang mereka di rumahnya untuk makan bersama.

Yesus tidak mengucilkannya. Yesus menerima dia apa adanya.

Yesus duduk makan bersama dengan mereka. Semangat kebersamaan, egaliter, persaudaraan dirasakan Lewi yang oleh masyarakat sering dikucilkan.

Masyarakat kadang bertindak kejam terhadap mereka yang dianggap kelompok pendosa.

Tetapi Yesus datang dan singgah di rumah Lewi dan makan bersama mereka yang dikucilkan itu. Tindakan Yesus ini juga “dinyinyiri” oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.

Mereka beraninya bersungut-sungut, “nggerundel di belakang” pada murid-murid-Nya, tidak berani berkata langsung kepada Yesus.

“Mengapa kamu makan dan minum bersama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”

Yesus langsung menjawab dengan tegas, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit! Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”

Bagi Lewi makan bersama menjadi tempat dimana dia diterima apa adanya. Dia merasa aman dan nyaman, saling percaya dan mengasihi satu sama lain.

Makan menjadi sarana membangun ikatan persaudaraan semakin mantap dan dalam.

Lebih baik bertobat seperti Lewi daripada suka “nyinyir, ngrasani orang, nggerundel, ngomongin di belakang, menduga-duga, ngegosip “katanya-katanya,” seperti yang dibuat kaum Farisi.

Mari kita gunakan masa Prapaskah ini untuk bertobat.

Malam-malam duduk di kursi lipat,
Sambil menonton adegan film Barat.
Masa Prapaskah adalah masa bertobat,
Jangan malah bikin dosa jadi lebih berat.

Cawas, minum juice alpokat….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here