Puncta 06.08.23
Minggu Biasa XVIII
Matius 17: 1-9
LAKON paling berat dalam pewayangan, selain Baratayuda adalah lakon Dewaruci atau Banyu Suci Perwitasari.
Dalang idola saya dalam lakon berbobot ini adalah Ki Nartosabdo almarhum. Dia pandai sekali memainkan lakon mistik dan berat ini. Kadang seorang dalang harus berpuasa dulu sebelum memainkan lakon-lakon yang serius dan berat ini.
Lakon Dewaruci menggambarkan bagaimana Bima bertemu dengan Sang Murbeng Rat atau Sang Hyang Wenang.
Bima harus berjuang terjun ke samudera dan mengalahkan seekor naga besar sebelum bertemu Dewaruci.
Bima diizinkan memasuki tubuh Dewaruci yang kecil dibanding dengan tubuhnya. Justru dari situlah Bima diwejang tentang “sangkan paraning dumadi” atau ilmu tentang asal dan tujuan seluruh ciptaan.
Bima sangat damai dan bahagia saat mengalami “Manunggaling kawula Gusti” menyatunya manusia dengan Tuhan.
Tetapi Bima diingatkan tugas dan darmanya seorang ksatria adalah “memayu hayuning bumi”.Bima harus kembali ke dunia untuk melaksanakan tugasnya; menegakkan kebenaran dan keadilan agar dunia damai dan sejahtera.
Hari Minggu ini kita rayakan Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Ia berubah rupa sampai wajah-Nya seperti matahari.
Allah mewahyukan Putera-Nya dalam Diri Yesus. Ada suara dari langit yang berkata, “Inilah Putera-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
Mengalami kemuliaan itu, Petrus sangat bahagia.
Ia berkata, “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarkanlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
Kebahagiaan ilahi yang tak terkira itu membuat Petrus lupa diri. Ia hanya memikirkan tiga pribadi mulia; Yesus, Musa dan Elia. Yakobus, Yohanes dan dirinya tidak terpikirkan.
Namun Yesus menyadarkan murid-murid-Nya untuk turun ke dunia, kembali ke hidup nyata untuk menyucikan dunia dengan kebaikan, kebenaran dan kedamaian.
Tugas perutusan Yesus harus dijalani yakni memanggul salib. Para murid diajak untuk ikut serta memanggul salibnya. Dengan pengorbanan salib itulah kemuliaan di Gunung Tabor dapat dimaknai.
Marilah kita menguduskan dunia dengan tugas dan karya kita, agar pada saatnya nanti kita juga akan mengalami kemuliaan bersama Tuhan dalam kebangkitan-Nya.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.
Cawas, kembali ke salib kita masing-masing