Renungan Harian
Kamis, 22 September 2022
Bacaan I: Pkh. 1: 2-11
Injil: Luk. 9: 7-9
HARI itu saya melayani misa di sebuah lingkungan. Saya senang karena banyak yang datang, dan beberapa keluarga membawa anak-anak mereka; sehingga terasa sebagai misa keluarga lingkungan.
Perasaan senang itu saya ungkapkan kepada umat yang hadir dalam pembukaan misa.
Ketika misa berlangsung saat persiapan persembahan, salah satu bayi menangis, dan ibunya berusaha menenangkan bayinya. Tak berapa lama terdengar suara “sssstttt” dari seorang ibu.
Ketika bayi itu mulai sedikit tenang, ada bayi lain menangis. Saya tidak merasa terganggu, karena menurut saya bayi menangis adalah hal yang biasa dan orangtua bayi pasti berusaha menenangkan bayinya.
Kami semua dikejutkan dengan suara ibu yang membentak: “bawa keluar”. Tentu maksud ibu itu baik, tetapi dengan caranya membentak justru kami semua terkejut dan menjadi terganggu.
Ibu bayi itu tampak panik dan bayinya semakin keras menangis. Ibu bayi itu kemudian membawa bayi itu keluar.
Setelah perayaan misa, ibu yang tadi mengeluarkan suara “sssstttt” yang juga adalah ibu yang membentak menemui saya dan dengan nada tinggi protes:
“Romo, harusnya kalau misa orang tua yang punya bayi jangan membawa bayi. Suasana jadi tidak khusuk dan tidak sakral. Saya amat terganggu. Kalau nanti ada misa dan ada yang membawa bayi, saya tidak akan ikut misa.”
“Ibu, kalau bayi itu menangis, menurut saya adalah hal yang biasa dan kiranya semua orang yang punya bayi maklum kalau ada bayi yang menangis.
Namun ibu yang membentak itu justru lebih mengganggu daripada bayi yang menangis,” jawab saya. Ibu itu tampak tidak terima dengan jawaban saya, meninggalkan saya sambil ngomel:
“Bertahun-tahun saya diganggu dengan tangisan bayi, sekarang mau misa mencari ketenangan tetapi diganggu juga.”
Beberapa hari kemudian saat setelah misa hari minggu, saya sengaja meminta ibu itu untuk bertemu.
Saya bermaksud menjernihkan persoalan yang terjadi saat misa lingkungan. Dari pembicaraan itu, ternyata ibu itu bertahun-tahun saat menjelang tidur selalu seperti mendengar suara bayi menangis, meskipun di sekitarnya tidak ada bayi menangis. Dengan berbagai cara menutup telinga tetapi tetap saja suara bayi menangis itu terdengar.
Cara yang ditempuh ibu itu adalah mendengarkan musik yang agak keras sehingga suara tangisan bayi tersamar oleh suara musik sehingga kemudian dia bisa tidur.
Saya bertanya berapa putranya dan ada apa dengan bayi menangis. Setelah agak lama berbicara barulah ibu itu mengatakan bahwa sebelum menikah dengan suaminya, dia pernah mengandung dengan laki-laki yang menjadi suaminya.
Namun karena pada waktu itu masih awal kuliah dan tidak mau mempermalukan kedua orangtua, maka mereka memutuskan untuk menggugurkan janin yang dikandungnya.
Saya mengerti bahwa ibu itu dihantui dengan rasa bersalah yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun.
Maka saya menyarankan untuk menerima sakramen rekonsiliasi dan mendoakan anak yang telah digugurkannya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, Herodes juga dihantui oleh rasa berdosanya karena membunuh Yohanes Pembaptis.
Sehingga Dia terganggu ketika ada orang yang menyebut Yesus sebagai Yohanes Pembaptis. “Yohanes kan telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal besar itu?”