HARI Sabtu 18 Februari 2023 dan bertempat di Jakarta, Perkumpulan Amerta bersama dengan LKPMBI, Komunitas Nostra Aetate Paskalis, POSNU, dan GEMAKU telah melaksanakan rilis dan bedah buku berjudul Menggagas Martabat Bangsa: Mengembangkan Kehidupan Kebangsaan yang Adab, Plural, Terbuka, dan Setara.
Penulis sekaligus narasumber diskusi adalah Juwita Jatikusumah Putri (Sunda Wiwitan), Rodhotun Jannah (POSNU), Romo Sulaiman Ottor OFM (Komunitas Nostra Aetate Paskalis).
Bersama moderator Profesor Dr. Paulus Wirutomo (Universitas Indonesia) dan penanggap Dr. Ngatawi Al-Zastrouw (Lesbumi).
Eksplorasi makna martabat bangsa
Buku ini hadir sebagai inisiatif warga untuk mengeksplorasi makna martabat bangsa Indonesia. Kegiatan ini ditandai dengan penyerahan buku dari penulis kepada perwakilan pemerintah dalam hal ini Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diwakili oleh Tomas Tri Utama K.
Diskusi dilaksanakan dengan mengidentifikasi kondisi-kondisi kesesatan konsep dan praktik martabat yang berbentuk marjinalisasi perempuan dan masyarakat adat; merebaknya kekerasan sebagai sarana menyelesaikan masalah dan memaksakan solusi oleh kelompok yang dominan; sikap permisif terhadap praktik korupsi dan manipulasi; perusakan alam demi kepentingan bisnis dan politik jangka pendek.
Para narasumber menegaskan kepeloporan Gus Dur dalam mengembalikan konsep dan praktik martabat bangsa yang ditandai dengan ciri-ciri:
- Keberpihakan dan pembelaan pada warga bangsa yang rentan dan marjinal seperti kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat
- Keberanian mengambil langkah-langkah terobosan yang beresiko untuk mengatasi status quo demi perbaikan dan pemulihan
- Komitmen memberi pengakuan pada berbagai ekspresi identitas komunitas dan budaya lokal sebagai kekayaan Indonesia.
- Dihindarinya kekerasan dan konflik dalam mengatasi perbedaan, serta dikedepankannya dialog dan saling menghormati dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rodhotun Jannah mengungkapkan tiga perhatian utamanya dalam mempersoalkan martabat bangsa yakni: kesadaran akan nilai luhur bangsa yang termanifestasi dalam Pancasila, aktor yang terus-menerus menyampaikan nilai-nilai luhur tersebut, dan penggunaan media dalam pengarusutamaan Pancasila.
“Generasi muda perlusemakin melek terhadap penggunaan media dan menjadikan negara kita bermartabat dan memiliki nilai-nilai luhur di mata dunia,” tegas aktivis muda NU.
Juwita memberi penekanan bahwa dalam diri perempuan bukan hanya wujud perempuan, namun juga melekat karakter yang begitu menentukan martabat kehidupan. Karakter perempuan melahirkan sebuah kehidupan.
Kalau perempuan sudah tidak peduli martabat bangsa, bukan tidak mungkin cita-cita Yang Maha Kuasa, untuk membentuk pribadi yang mulia berlandaskan cinta kasih tidak akan terwujud.
Keprihatinan kaum perempuan
Sebagai tokoh perempuan dari Sunda Wiwitan, Juwita menambahi berikut.
“Perempuan menjadi kekuatan untuk membangun kemanusiaan dan martabat bangsa. Ketika seorang ibu memiliki pandangan yang konsumtif, fanatik, dan bodoh, maka generasi di bawahnya pun tidak jauh dari situ.”
Romo Sulaiman Ottor OFM berpandangan, perbedaan-perbedaan yang inheren melakat pada ciri bangsa Indonesia adalah sesuatu yang fitrah dan perlu diletakkan dalam prinsip universal kemanusiaan.
Pastor Fransiskan yang berkarya di pedalaman Kalimantan Barat ini menyampaikan berikut.
“Membangun martabat bangsa kita sudah diteladankan oleh para founding fathers. Mereka berhasil merumuskan Pancasila. Moderasi beragama adalah praktik ber-Pancasila; di dalamnya mengandung toleransi antar umat beragama.”
Dr. Al Zastrouw Ngatawi sebagai penanggap menuturkan,buku yang diterbitkan oleh Komunitas Lintas Iman ini ibarat “vaksin” terhadap sebaran virus radikalisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.
Buku ini adalah vaksin ideologis untuk menahan gempuran virus tersebut.
Kelompok masyarakat sipil seperti Perkumpulan Amerta, POSNU, LKPMB, Komunitas Nostra Aetate Paskalis, GEMAKU adalah “inkubator” vaksin untuk meningkat imunitas dan meningkatkan martabat bangsa.
Martabat bergandengan dengan adab, maka orang yang tidak punya martabat adalah yang tidak punya adab.
Metafora tamansari Indonesia
Dr. Al Zastrouw Ngatawi memberikan metafora tamansari bagi Indonesia yang pluralistik. Pluralisme bukan membuat semua sama, tapi tekad untuk menjaga yang berbeda bisa tumbuh bersama.
“Pluralisme di Indonesia merupakan usaha bersama agar menjaga mawar, melati, dan bunga-bunga yang lainnya dapat tumbuh dengan baik di taman sari Indonesia, bukan justru merubah mawar menjadi melati agar seragam. Tamansari indah kalau bunganya bermacam-macam,” tegasnya.
Forum mengenali tantangan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang bermartabat dan karenanya diperlukan langkah-langkah:
- Pengarusutamaan multikulturalisme dalam pendidikan dan birokrasi. Pendidikan berperan untuk menghasilkan generasi baru yang berkomitmen pada keberagaman. Birokrasi adalah representasi negara di berbagai daerah yang menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa pada tataran lokal.
- Pengakuan dan promosi atas berbagai kekayaan sosial dan budaya Indonesia yang berada pada berbagai komunitas adat, kelompok minoritas, dan kelompok budaya sebagai sumber identitas bangsa.
- Mengembangkan ruang-ruang dialog, komunikasi, dan kolaborasi antar kelompok sebagai sarana membangun inisiatif kolektif dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Acara ditutup dengan doa lintas agama. Tradisi yang semakin banyak dilaksanakan oleh berbagai forum di Indonesia.
Buku dapat diunduh gratis di tautan: https://bit.ly/BukuMartabatBangsa