[media-credit name=”youth.org” align=”alignright” width=”267″][/media-credit]DALAM tradisi Yunani dan Romawi kuno, pemuda-pemudi menduduki peranan penting.
Patung renaissance yang berjudul, “David” pahatan karya Michaelangelo (1475-1564) sungguh memukau karena guratan kepemudaannya.
Dalam mitologi Yunani, ada manusia yang memohon kepada dewa dengan harapan bisa hidup abadi. Mereka minum buah nectar supaya masa muda selalu dinikmati. Kata orang, masa muda adalah masa romantika.
Saat berkreasi
Syair lagu yang berbunyi, “Masa muda, sungguh senang, jiwa penuh dengan cita-cita” barangkali memberikan inspirasi bagi kita. Masa muda juga disebut sebagai saat yang tepat untuk berkreasi. Tetapi jangan lupa bahwa daya kreativitas sang pemuda itu tidak bisa dilepaskan begitu saja, tetapi harus didampingi.
E. M. Berens dalam Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani dan Romawi, berkisah tentang seseorang yang bernama Ikarus, putra Daedalus. Ia adalah seorang pemuda yang ikut ayahnya, bereksperimen untuk terbang.
Mereka menggunakan lilin untuk merekat bulu-bulu pada sayap buatan. Ketika terbang di atas awan, sang ayah menasihati supaya tidak terbang tinggi-tinggi supaya lilin perekat itu tidak meleleh karena sengatan sinar matahari.
Tetapi sang pemuda itu rupanya sulit untuk mendengar nasihat ayahnya. Sang pemuda berambisi menjadi yang terbaik dan ia pun melambung tinggi dan meninggi, tetapi akhirnya terjungkal, karena sayap-sayapnya patah.
Pemuda Indonesia
Ikarus, seorang pemuda yang hendak berjuang hidup cemerlang, namun kurang waspada. Lain kisah dengan pemuda-pemudi para perintis bangsa Indonesia yang memiliki visi yang luar biasa. Apakah terbayang dalam benak kita bahwa pahlawan nasional kita sudah menelorkan ide-ide yang cemerlang di kala mudanya.
Kartini (1879 – 1904) – meski kini disebut sebagai “Ibu Kita Kartini” – meninggal pada usia 24 tahun. Bayangkan, betapa mudanya ketika ia berangkat ke dalam ide-ide besar, dengan masterpiece-nya Dari Gelap Terbitlah Terang.
Bung Hatta (1902 –1980), belum berumur 30 tahun ketika ia menjadi tokoh perjuangan merintis kemerdekaan. Masa pertempuran untuk kemerdekaan berkecamuk juga menyediakan momentum untuk anak-anak muda.
Di tahun 1946, Panglima Divisi Siliwangi adalah seorang pemuda bernama A.H. Nasution (1918 – 2000), umurnya 28 tahun. Di waktu Yogya diduduki tentara Belanda, seorang perwira yang berumur 28 tahun juga memimpin serangan umum untuk merebut kota itu. Namanya Soeharto (1921 – 2006).
Jangan berhenti berkarya
Kata orang lagi, untuk melawan kepikunan di masa tua, orang harus banyak mengisi TTS ataupun menulis. Mangun Wijaya (1929 – 1999) penulis buku Burung-burung Manyar dan Umar Kayam (1932 – 2002) penulis buku Para Priyayi pernah berkata bahwa seorang penulis itu tidak pernah akan tua.
Dengan memahat kalimat demi kalimat, seorang penulis merenungkan dalam dan lebih dalam lagi, sehingga pemikirannya tidak akan pernah berhenti. Sikap hati yang selalu ingin hal-hal yang baru itu membuat orang selalu muda.
Sebaliknya, ada orang yang masih muda tetapi memiliki sikap hati yang mandeg atau stagnasi, dan ia terjebak dalam pemikiran-pemikiran yang kaku dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Masalah umur itu bukan menjadi jaminan bahwa dirinya sudah dewasa ataupun belum.Yang paling penting yaitu bagaimana memaknai kehidupan ini dengan hal-hal yang berkualitas.
Bukankah zaman sekarang ini orang amat mengandalkan gelar, pangkat dan jabatan untuk memaknai hidup. Ada orang yang beranggapan bahwa gelar doktor merupakan puncak akademik, sehingga setelah mendapatkan gelar, dia tidak menulis atau mengadakan penelitian ilmiah lagi. Padahal, sebenarnya gelar doktor harus dipandang sebagai awal kariernya, sehingga senantiasa akan mencipta dan mencipta.
Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir-nya mengutip ajaran Kong Hu Cu atau Confucius (551-479 SM). Pada umur 15 tahun, aku mengamalkan diri untuk belajar kebijaksanaan. Pada umur 30 tahun aku tumbuh lebih kuat dalam kebijaksanaan. Pada umur 40 tahun, aku tidak lagi punya rasa ragu.
Pada umur 60 tahun tak ada suatu pun di atas bumi yang bisa mengguncangkanku. Pada umur 70 aku dapat mengikuti imlak hatiku tanpa mengingkari hukum moral.” Usia tua memberikan kesempatan untuk kearifan, begitu Kong Hu Cu mengajarkan.