Masih Terasa Luka Petrus Fahik Mengingat Banjir

0
123 views
Romo Ino dan Petrus Fahik (kaos biru) di Desa Wederok, Dusun Bualaran. Foto-foto : Rm Inosensius Nahak Berek Pr/Sesawi.net

Tatapan mata kosong Petrus Fahik [ 72 ] warga Desa Wederok, Dusun Bualaran menyibakkan luka hati yang dalam. Di usia senja dengan postur tubuhnya yang tak lagi tegap, ia hanya bisa berpasrah pada kenyataan. Banjir bandang yang menyapu rumahnya akibat luapan Sungai Benenain pada Minggu, 4 April 2021 membuatnya pedih.

Tak banyak bicara. Sapuan air yang mengagetkan malamnya membuatnya syok. Jika ditanya ia lebih banyak terdiam. Kadang sedikit tersenyum jika terlontar kata-kata guyon namun selebihnya membisu sambil mengedipkan alis matanya yang telah memutih. Seakan kedipan aura hidupnya kian redup karena disapu bencana.

Banjir bandang, tanah longsor yang melanda empat wilayah [ Larantuka, Sumba Timur, Kupang, dan Malaka ] di Nusa Tenggara Timur termasuk wilayah tempat tinggal Fahik di Kabupaten Malaka membuat tempat tinggalnya luluh lantak. Air setinggi 2 meter membawa semua harta miliknya. Rumah rusak, semua perabot lenyap ditelan banjir. “Termasuk televisi yang baru dibeli seminggu sebelumnya juga lenyap terbawa banjir. Selesai.”ujarnya.

Usai banjir, hanya dengan buah kelapa ia mengisi perutnya. Tidak ada yang lain. “Saya sudah sangat lapar. Badan gemetar menahan dingin dan perut meronta, terasa melilit. Terpaksa saya makan buah kelapa yang isinya sudah tua untuk menghilangkan lapar,”ucap Petrus dengan nada datar di rumahnya yang tak lagi berdinding akibat terjangan banjir.

Kini, Petrus hanya bisa memandang kekotoran, kekacauan, bau tak sedap, dan kondisi yang mengerikan akibat banjir. Yang tertinggal hanyalah sampah, rongsokan dan onggokan kayu berserakan di mana-mana bercampur lumpur cokelat yang telah mengering. Semua terlihat porak poranda. Rasa perih masih melekat di hati. Tak mudah dilupakan begitu saja. Ingatan pada ganasnya air masih membayang jelas.

Matanya hanya bisa mengamati bagaimana mereka yang masih muda membersihkan rumah dan jalan-jalan akibat lumpur. “Saya sudah tua dan tak bisa berbuat banyak. Waktu banjir meluap pas dini hari. Saya tidak pikir lagi barang-barang di dalam rumah ini,” kata Fahik sedih dengan kelopak mata berkaca-kaca menahan air matanya.

Katanya, bencana kali ini termasuk yang tersadis yang pernah dirasakan sepanjang hidupnya. Tahun 2000, pernah ada banjir, tapi tidak separah sekarang. Baginya, banjir tahun ini meninggalkan cerita pedih, perih yang menikam hingga lubuk hati terdalam.

Kepedihan yang sama juga dirasakan oleh ribuan korban banjir yang lain. Tangisan dan jerit mereka bisa jadi tak kalah menyayat. Untung, banyak tangan yang peduli pada mereka. Sumbangan demi sumbangan untuk kebutuhan harian, makan minum bisa mereka dapatkan setiap hari. Komunitas dan berbagai kelompok relawan berkenan menemani mereka dalam duka. Itu artinya Tuhan tetap baik pada mereka. Semoga semua kesedihan semakin cepat hilang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here