DUNIA Zaman Now tidak terlepas dari nomorisasi. Angka-angka itu menemani hidup kita. Bangun pagi angka yang bermain di kepala, password HP. Belanja, angka yang harus diingat: PIN Bank. Perkenalan, nomor HP yang diminta. Hampir seluruh kegiatan kita bersentuhan dengan angka-angka. Termasuk nomor togel demonstrasi di Jakarta setahun yang lalu: pake 112, 212, dan sebagainya.
Dari sejarah, kita belajar bahwa konsep tentang angka ini menjadi ‘induk’ yang melahirkan paham kapitalisme, dengan prinsip dasarnya: Semakin banyak angka-angka yang didapat semakin kaya.“
Tradisi pemberian nama: ‘Kapung’ Anak
Saya mengundang pembaca untuk bertamasya ke daerah dimana saya lahir dan dibesarkan: Wukir, Flores. Di sana ada tradisi pemberian nama kepada bayi yang baru lahir, yang dinamakan ‘kapung.’
Inilah ritual pemberian nama anak.
Medium yang dibutuhkan adalah sekian lembar daun sirih, sekian banyak pinang dan satu nyiu/tampi. Sebuah pinang mesti dibelah dua, seimbang, dengan kulitnya. Para tua-tua adat yang mewakili anak Rona (keluarga Ibu) dan anak Wina (keluarga Bapak) menyebut nama yang cocok untuk anak itu.
Saat salah satu nama dari nenek moyang disebutkan, kepala suku mesti mengayunkan pinang di tangannya ke arah langit sebanyak sekian kali, lalu melempar pinang ke atas tampi. Kalau pinang itu terbuka semua atau tertutup semua, para tua-tua adat mesti mencari nama lain.
Ketika pinang itu satunya terbuka dan yang lain tertutup maka itulah nama yang dikehendaki oleh nenek moyang. Dalam tradisi ini, nama adalah sebuah keberlanjutan generasi, sebuah masa depan.
Nama juga memikul identitas kesukuan yang membuat orang mudah mengenal asal usulnya.
Musa: Perjumpaan dengan ‘Aku adalah Aku-akan-Ada’
Arti sebuah nama sangat berperan penting dalam sejarah bangsa Israel. Nama mengartikulasikan misi tentang kehadiran seseorang, karya apa yang hendak dituntaskannya.
Ketika Musa diutus Allah ke bangsanya yang berada di penindasan Mesir, ia bertanya: Siapakah yang mengutus aku? Musa membutuhkan nama: sebagai pemberi kedaulatan perutusan.
Allah menjawab: “Aku adalah Aku-akan-Ada (Ich bin der ich bin da)“ menjadi identitasnya (Kel. 3:14).
Pernyataan diri ini pertama-tama bukan untuk menjelaskan Ada-nya Yahweh, bukan soal eksistensi Yahweh, tapi lebih kepada “Karya keselamatanNya.“
Israel mesti menyadari bahwa Yahwehlah Penyelamat mereka. Hanya Yahweh sendiri yang membantu mereka. Yahweh saja yang peduli akan keber-Ada-an Israel. Aku adalah aku-akan-ada, memiliki misi untuk terlibat dalam sejarah bangsa Israel, sebagai yang selalu berada “Da-Sein“ untuk umat pilihan-Nya. Ini menuntut keseriusan bangsa Israel untuk memilih Yahweh sebagai satu-satunya Allah mereka.
Pengalaman jatuh bangun bangsa Israel menjawabi panggilan Allah adalah cermin dari sejarah perjuangan umat manusia pada umumnya dalam menanggapi sapaan Allah.
Samuel: “Berbicaralah, hambaMu mendengarkan.“ (1 Sam 3, 10)
Jawaban kita
Panggilan Allah menuntut jawaban dari setiap kita. Dengan beragam cara, Allah menyapa kita. Kisah panggilan kenabian Samuel adalah sebuah jawaban atau berkaitan erat dengan arti sebuah nama.
Samuel yang berarti “Tuhan telah mendengar“ adalah anak yang lahir dari kisah panjang kerinduan dan kekuatan doa seorang ibu. Menyadari campur tangan Allah dalam diri Samuel dan sebagai ungkapan syukur, sang ibu Hannah mempersembahkan anaknya ke Bait Allah.
Di sana Samuel dituntun oleh Eli yang adalah imam Bait Allah. Di Kenisah itulah Allah tiga kali memanggil nama Samuel: yang menunjukkan keseriusan Allah, bahwa panggilan itu bersifat ilahi. Keseriusan ini dijawab oleh Samuel: Berbicaralah, hamba-Mu mendengarkan.
Samuel mengajarkan kepada kita bahwa iman dan beriman berawal dari mendengarkan. Yang paling penting, yang memberikan kita warna baru dalam panggilan hidup, bukan seberapa banyak kita berkata-kata dan berteori, tapi seberapa bersedianya kita membiarkan Firman-Nya meresapi hidup ini, membentuk dan menginspirasi karya kita di dunia ini.
Panggilan Allah dijawab oleh kebersediaan Samuel untuk menuntun bangsa Israel kepada “Aku adalah Aku akan ada“.
Simon: Petrus – karya misi setiap orang Kristen
Pemberian nama Petrus dalam kisah versi injil Yohanes (Yoh. 1. 35-42) berawal dari pernyataan Yohanes Pembaptis: “Lihatlah Anak Domba Allah.“
Pernyataan ini menginspirasi kedua murid Yohanes untuk mengikuti Yesus, yang berujung pada pertanyaan: “Rabi, dimanakah Engkau tinggal?“
Pertanyaan ini dijawab Yesus: “Datang dan lihatlat.“
Lalu para murid tinggal dengan Dia yang mereka cari. Kata-kata seperti tinggal, diam menginspirasi seluruh pewartaan Yohanes Penginjil. Kedua murid tadi akhirnya ‘tinggal’ bersama Dia dan mengambil bagian dalam misi Aku adalah aku akan ada.
Mengambil bagian dalam misi ilahi, misi Yesus, dan setelah tinggal bersama Dia, inilah menginpirasi Andreas untuk mewartakan kabar sukacita ini kepada saudaranya.
Dalam Injil Yohanes, bukan Petrus yang pertama kali berjumpa dengan Yesus. Saudaranya Andreas adalah orang yang menemukan Petrus keesokan harinya, dan memberi pengakuan: Kami telah melihat Mesias.
Ketika Andreas membawa Simon kepada Yesus, terlihat bahwa Yesus mengenalnya: “Engkau Simon, anak Yohanes; Engkau akan dinamakan Kefas, yang berarti: batu.”
Menjadi menarik dalam ‘memilah’ pemberian nama ini.
Tidak ada pengakuan hebat Simon, seperti dalam Injil Matius (Mat. 16:6): “Engkau adalah Messias, Anak Allah yang hidup.“ Juga tidak berkenaan dengan kemunculan Simon sebagai juru bicara para murid. Yesus, menurut Penginjil Yohanes, memberi nama ini, bahkan di pertemuan pertama, karena Yesus mengenal Simon. Ini menegaskan kembali hakikat panggilan menjadi murid Kristus bahwa panggilan itu selalu terjadi pada peristiwa-peristiwa yang konkret (Karl Barth).
Pertemuan ini mengungkapkan dan mengonfirmasi pentingnya budaya “perjumpaan langsung“ (live in) dalam karya apostolat dewasa ini. Pentingnya sebuah perjumpaan dan perkenalan disabdakan kembali oleh Paus Benedictus XVI dalam Deus Caritas Est (2005): “Awal mula kekristenan tidak disibuki oleh diskusi ditataran etis atau bagaimana merangkai ide-ide bagus, tapi berawal dari perjumpaan dengan suatu peristiwa, dengan seseorang yang memberi cakrawala baru dan dengan demikian menentukan arah hidup kita.“
Budaya perjumpaan: sebuah undangan
Yesus memberikan nama baru kepada Simon, yang menjadi ‘misi; perutusannya. Nama Petrus, Kefas, bisa dipakai sebagai program dan undangan bagi orang Kristen, bahwa setiap mereka yang telah berjumpa dengan Yesus, sejak pembaptisan, diundang untuk kembali berjumpa dengan realitas kehidupan yang ada di sekitar kita dan menjadi Kefas, batu bagi kokohnya perjuangan kemanusiaan dan keilahian.
Kita diminta untuk memulai ‘budaya perjumpaan’ (Paus Fransiskus) dengan cara yang sangat sederhana, ‘seperti yang Yesus lakukan’: tidak hanya untuk memandang, tapi untuk melihat realita di sekeliling kita; tidak hanya dengar tapi mendengarkan dengan hati setiap tangis dan duka kehidupan; tidak hanya bersua dengan orang lain, tapi meluangkan waktu untuk bertemu mereka; tidak hanya mengasihani orang yang susah tapi mendekati, menyentuh, dan berkata, “jangan menangis” dan memberikan setidaknya setetes kehidupan kepada mereka.
Itulah arti nama Kristen sesungguhnya. Itulah Kefas yang membuat Gereja bertahan selama lebih dari dua ribu tahun. Kekristenan tidak diukur dengan angka, tapi bagaimana identitas dan misi kekristenan itu menjadikan manusia manusia sesungguhnya.