“Mata Air” Merapi

0
1,187 views

MUNTILAN abu-abu.  Selasa, 16 November 2010. Siang tampil kumuh di kota kecil itu. Debu terus mengepul di jalanan. Pohon-pohon sayu. Dahan-dahan patah. Rumah-rumah tampak serba putih. Pucat. Sepi. Sebagian terkunci.

Beberapa orang  beraktivitas dengan masker membungkam mulutnya. Pasir menggunung di kanan kiri jalan. Sementara sosok Merapi tak tampak. Awan pekat membungkusnya. O, Muntilan benar-benar seperti Kota Debu.

Terakhir menyambangi Muntilan adalah lima tahun silam. Iya, saat itu di bulan Agustus. Saat ingin menyaksikan Festival Lima Gunung di Desa Petung. Muntilan, kala itu, bersih seperti kota-kota lain. Muntilan jadi kota transit.

Mobil kami terus melaju. Menembus tirai debu. Berhenti di halaman parkir pastoran Sanjaya. Di sini, kami mencari Romo Kirjito. Romo Kirjito adalah pastor di Paroki Sumber—empat  kilometer dari pucuk Merapi. Dia mengungsi di sini bersama warganya.

Suasana Pastoran Sanjaya juga abu-abu. Debu dan pasir di mana-mana. Di meja, ada kantung plastik tergeletak. Isinya kerikil. Iya, k-e-r-i-k-i-l. “Itu kerikil yang menghujani Muntilan. Saat awan panas bergerak ke Selatan, kami kebagian hujan kerikil dan abu,” kata Romo Kirjito mulai berbagai celoteh. Romo Kir—sapaan akrab romo—lalu mempertontonkan foto-foto dan video saat Merapi meletus. Debu. Awan bergulung-gulung. Orang riuh mengungsi. Suara kemeresek. Awan pekat. Daun-daun sayu. Pohon-pohon mematung. Matahari suram. Kendaraan berseliweran.

“Tunas pisang ini adalah tanda masih ada harapan. Pisang adalah tanaman paling rapuh dan lemah di antara tanaman dan pohon di lereng Merapi. Tapi, dia bertahan di sini. Tunas ini memberi kami pengharapan. Kepada tunas pisang saja Tuhan masih mencintai, apalagi dengan kita sebagai manusia,” kata Romo Kirjito.

Ada satu video menarik. Minimal buat saya pribadi. Di sebuah kampung yang sepi—aku lupa menanyakan nama kampung itu. Tidak hanya manusia yang kehilangan tempat tinggal. Seekor ayam betina juga. Ayam ini berjalan ke sana ke mari. Paruh dan cekernya mengais tumpukan kayu yang terbungkus debu vulkanik. Dia mencari makan. Tak satu pun beras atau apa pun yang ia temukan untuk dimakan. Ayam betina itu tampak celingukan.

Ada satu yang baru di antara dahan-dahan yang patah dan tanaman yang ambruk akibat tak kuat menahan beban debu vulkanik. Sebuah tunas pisang bertumbuh. Daunya hijau muda. Menyala di antara pohon-pohon lain yang ambruk dan berdebu. Kehidupan belum berakhir. Iya, kehidupan masih terus berjalan di lereng Merapi.

“Tunas pisang ini adalah tanda masih ada harapan. Pisang adalah tanaman paling rapuh dan lemah di antara tanaman dan pohon di lereng Merapi. Tapi, dia bertahan di sini. Tunas ini memberi kami pengharapan. Kepada tunas pisang saja Tuhan masih mencintai, apalagi dengan kita sebagai manusia,” kata Romo Kirjito.

Ah, kata-kata Romo Kir ini bagaikan mata air dari lereng Merapi. Memberi kekuatan. Memberi harapan. M-e-n-y-e-g-a-r-k-a-n.  Hal sederhana tapi sungguh dalam  yang tidak ditangkap oleh orang kebanyakan.

Senja  beringsut dengan muram. Masih di pastoran Sanjaya. Malam datang dan mengantarkan kepada kami seorang lelaki muda berkopiah. Namanya  Sodiq. Sodiq merupakan sahabat Romo Kir. Keduanya bekerja bersama dalam membangun lereng Merapi. Mereka tak peduli soal agama.

Begitulah Romo Kir. Meskipun dia pastor yang notabene Katolik, dia punya spirit pluralis. Warga Sumber pun hidup dengan guyup tanpa mempersoalkan perbedaan.  Mereka saling berbagi. Pada Idul Adha lalu, Romo Kir mempersilakan warga Muslim menggelar sholat id di pelataran gereja.  O, sepotong kearifan dari Lereng Merapi.

Sodiq banyak membantu kami. Mencarikan kami sapi korban. Mempertemukan kami dengan warga Dusun Tutup Ngisor. Lebih dari itu, ia menceritakan kebajikan hidup warga lereng Merapi. Cara bertuturnya pun membuat kami dengan senang hati mendengarkannya. Cerdas dan penuh kearifan— hal yang jarang  ditemukan di ibukota.

Bahkan, perjumpaan dengan Romo Kir dan Sodiq menyadarkan kami bahwa ternyata Ibukota tak selalu menjadi “kawah candradimuka” untuk menghasilkan orang-orang cerdas dan berbudi—termasuk kami-kami ini. Kawah Candradimuka ini ada nyata di lereng Merapi!

Perjumpaan perdana itu ditutup dengan makan malam. Makan malam dengan menu khas dusun. Setiap kali makan bersama, saya selalu merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan. Inilah mata air Merapi. Mata air rohani!

[nggallery id=1]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here