“Mati Tatkala Sedang Bertugas”, Setahun Meninggalnya Romo Markus Marlon MSC

0
765 views
“Mati Tatkala Sedang Bertugas”, Setahun Meninggalnya Romo Markus Marlon MSC. (Dok. Romo Nico Setiawan OMI)

MEREKA –para dokter, perawat, dan tenaga medis, juga anggota TNI/Polri, segenap sukarelawan- harus bersedia bekerja 24 jam. Serta harus rela berpisah dengan keluarga, buah hati, dan orang-orang tercinta.

Bahkan, tak sedikit dari para pejuang di garda kesehatan terdepan ini yang akhirnya gugur. Karena telah terpapar Virus Corona dari para pasien COVID-19.

Angka kematian dokter di Indonesia karena ikut terpapar COVID-19 terus mengalami kenaikan.

Data terkini yang dihimpun tim mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sampai 3 Agustus 2021 mencatat ada sebanyak 640 dokter telah meninggal dunia.

Mereka gugur, kembali ke pangkuan Sang Khalik, tatkala sedang melakukan tugas panggilan sebagai garda terdepan dalam melayani pasien COVID 19.

Betapa mulianya. Mereka itu sudah menuntaskan panggilan sucinya karier profesionalnya ini sampai titik akhir.

Lalu, penulis langsung ingat akan mendiang Romo Markus Marlon MSC. Ia pernah menulis tentang kematian.

Ada tiga buku. Namun ada tulisan tentang kematian yang sangat berbeda dan menarik bagiku.

Mati Tatkala Sedang Bertugas inilah tulisan almarhum Romo Markus Marlon MSC, sebelum dia pergi menghadap Tuhan.

Romo Markus Marlon MSC meninggal dunia saat masih bertugas sebagai imam berpastoral di wilayah pedalaman Keuskupan Tanjung Selor, tepatnya di Paroki Dumaring yang secara administratif pemerintahan masuk wilayah Provinsi Kaltim.

Mati tatkala sedang bertugas

Saya pernah membaca buku yang berjudul The Art of Dying – Mati Indah. Heran saja, karena seolah-olah sang penulis -Elizabeth Fenwick dan Peter Fenwick- sudah tahu kapan dan bagaimana mereka itu nantinya akan mati.

Mereka mungkin sudah lupa:

  • Peribahasa berbunyi, “Yang secupak tidak akan jadi sesukat, yang sejengkal tak akan jadi sehasta”. Artinya, umur itu sudah ditentukan dari Atas.
  • Juga ungkapan bahasa Jawa berbunyi “Menungso mung sa’ dermo nglakoni – manusia hanya sekadar menjalani hidup ini.”

Namun yang pasti, kita ingin mati dengan baik, walaupun tidak indah dan sedang tidak dalam tugas.

Sastrawan kondang – almarhum Romo Mangunwijaya (1929–1999) meninggal dunia karena serangan jantung, saat bicara memberi paparan seminar tentang buku di Hotel Le Meridien Jakarta.

  • Duryudana tewas, tatkala sedang perang tanding.
  • Bisma gugur di atas senjata-senjata perang.
  • Kumbakarna sang pahlawan sejati mangkat, menggunakan toga putih (“Anoman obong”),
  • Achilles terbunuh saat perang dan masih banyak lagi wiracerita yang membanggakan jiwa.

Memanglah benar, “vivere militare – hidup adalah perjuangan” menurut kata-kata Seneca (4 SM– 65 M).

Akhirnya, saya setuju dengan kata-kata Vergilius (70–19 SM) yang biacara “Pulchrumque mori succurrit in armis – Adalah indah, mati ketika sedang bertempur mengangkat senjata.”

Pesan untuk semua orang

Apa yang mau dipesankan untukku?

Sewaktu aku masih hidup,apa pun bisa ditulis. Bahkan tentang kematian. Aku bisa menulis kemauan, kehendakku sebagai manusia untuk menerima kematian.

Aku bisa mengandaikan bagaimana sebelum, atau pada saat kematian menjemputku. Namun, faktanya aku tidak mampu menentukan. Aku tidak berkuasa atas maut.

Aku merasa telah mendapat pencerahan untuk memperdalam pesan yang kutangkap. Lewat tulisan almarhum Romo Marlon.

“Kematian tidak kenal siapa orang itu – kaya-miskin, tua-muda, raja-rakyat jelata. Semua menunggu giliran untuk menerima malaikat pencabut nyawa datang mengetuk pintu rumah kita masing-masing.

Kita diingatkan kembali kata penyair Romawi Horatius (65–8 SM): “Mors ultima lenea rerum est – Kematian adalah batas hidup terakhir dari segalanya.”

Itulah sekapur sirih dalam buku Permenungan Kematian, 2018)

Misa peringatan setahun meninggalnya Romo Markus Marlon MSC di Paroki Dumaring. (Dok. Marcel)

Pernah juga sekali waktu, almarhum Romo Marlon mengungkapkan kepadaku kerinduannya tentang kematian.

Begini kisahnya.

Suatu sore, Romo Marlon menyapu di halaman Gereja Dumaring di Kalimantan Timur. Saat itu, aku tengah berolahraga ringan di seputar halaman.

Seorang ibu dan dua anak kecilnya masuk halaman dan menyapa Romo Marlon: “Pastor, selamat sore. Rajinnya Pastor Marlon menyapu halaman gereja” sambil terus berjalan menuju ke makam sebelah gereja.

Lalu, Romo Marlon memanggilku. Aku pun mendekat. Ia berbisik: “Mas, beginilah umatku di Paroki Dumaring. Lihat Pastornya menyapu, ya lewat saja. Mana ada yang mau bantu? Beginilah jadi seorang imam di paroki pedalaman. Nanti kalau aku meninggal, aku tidak mau, tidak akan dimakamkan di Pemakaman Umat Katolik di halaman gereja ini.”

Inilah kehendak sosok pribadi Romo Marlon yang gemar membaca dan menulis. Bakatnya ini sudah menonjol sejak di Seminari Menengah Mertoyudan.

“Mas, aku tidak mau mati dalam tugas sebagai imam di Paroki Dumaring. Aku mau pensiun dan menikmati masa tua akhirnya aku mau meninggal di Purworejo saja.“

Sekali lagi, Kuasa Sang Khalik Tuhan Sumber Kehidupan mengatakan dan merencanakan lain dengan rencana manusia.

Yang tertulis tetap tertulis, demikian kata Gubernur Pontius Pilatus.

Romo Marlon sudah menulis Mati Tatkala Bertugas.

Ini menjadi kenyataan tanggal 5 Agustus 2020. Ketika, Romo Marlon malah akhirnya pergi menghadap Sang Sumber kehidupan di tempat tugas pastoralnya: Paroki Dumaring. Yang dulu pernah dia tolak kehendaki.

“Adalah indah mati, ketika sedang bertempur mengangkat senjata.” Nah, semoga Romo Marlon sangat setuju dengan omongan Vergilius (70–19 SM). Kini, Romo Marlon sudah mengamininya.

Kedekatan gembala–domba

Umat Paroki Dumaring telah mengantar dan menempatkan jenazah Romo Marlon dalam “Sebuah Pusara Kemenangan Dalam Tugas”.

Berlokasi di samping Gua Maria di halaman Gereja Paroki Dumaring.

Biarlah setiap saat umat parokinya bisa mengungkapkan cintanya sebagai domba-domba kepada gembala pastoral yang baik: Pastor Markus Marlon.

Dilakukan dengan berdoa. Juga dengan menabur bunga dan menyalakan lilin. Sambil mengatakan: ”Kami-kami ini yang sekarang bergantian menyapu halaman gereja. Romo Marlon, duduklah manis memandang dan menunggui kami, domba-dombamu.

Kusapa untukmu

Untuk mengenang setahun lamanya Tuhan telah menjemput Romo Marlon, kini biarkan aku menyapamu.

“Marlon, kau sudah mengikat dengan Sang Gembala Agung dalam Sakramen Imamat sampai tuntas. Kini, dalam kematianmu pula, kau diikat oleh domba-domba, umat Paroki Dumaring yang sangat sayang dan dekat denganmu, dalam sebuah Monumen Pusara Kemenangan Misionaris MSC Sejati.

Kau telah mati, tatkala bertugas seperti yang sudah kau tulis. Sangat mulia dan bersahaja.”

Ingin membangun rumah duka

Suatu saat, Romo Marlon mengatakan kepada beberapa umat tentang rencana pembangunan Rumah Duka.

Pak Marcel, salah satu umat yang hadir dan mendengarkan impian Romo Marlon, lalu menceritakan kepadaku lewat telepon.

“Halo Pastor Nico, Pastor Marlon pernah mengungkapkan bahwa beliau akan membangun rumah duka di dekat lokasi Gua Maria.

Rumah abadi untuk almarhum Romo Markus Marlon MSC di sebelah gereja Paroki Dumaring, Katim. (Dok. Marcel)
Pemakaman Umum Katolik, Pastoran, dan Gereja Paroki Dumaring berada dalam satu lahan kompleks yang sama. (Dok. Marcel)

Rumah duka itu dicat dengan warna hitam. Foto-foto anggota keluarga yang sudah meninggal di tempel di dinding rumah duka. Ketika ada keluarga yang berdoa di Gua Maria, mereka terus lanjut masuk ke rumah duka dan sekalian mendoakan anggota yang sudah meninggal.”

Ternyata, umat Dumaringlah yang lebih dulu membangun rumah pusara untuk Romo Marlon di sebelah Gua Maria.

Bangunan pendopo kecil itu bukan rumah duka yang direncanakan oleh Romo Marlon. Namun sekarang itu adalah rumah abadi yang ditempati Romo Markus Marlon MSC.

Rekoleksi umat Dumaring menoreh kenangan

Sekali waktu, aku berkunjung ke Paroki Dumaring memberi rekoleksi umat. Itu terjadi tanggal 21 Januari 2019.

Memang aku sengaja diundang oleh Romo Marlon. Sekalian dia mengajakku bergembira di hari Ulang Tahunnya tanggal 22 Januari.

“Pasto Nico ini bermisi dengan hati Santa Maria. Karena Pastor Nico adalah seorang imam misionaris Oblat Maria Imakulata. Saya bermisi di Paroki Dumaring ini dengan hati Yesus, karena saya adalah seorang rohaniwan MSC.

Malam ini, saya mengundang Pastor Nico memberi rekoleksi dengan tema Gua Maria.

Lewat Rekoleksi ini, saya berharap agar umat mempersiapkan diri  secara rohani untuk acara peletakan batu pertama pembangunan Gua Maria di pusat Paroki Dumaring.“

Inilah pengantar Romo Marlon MSC dalam pembukaan rekoleksi di Pastoran Dumaring. Aku tetap ingat apa yang dikatakan oleh Romo Marlon.

Mempersilakan orang lain untuk tampil inilah sikap Romo Marlon dalam menghargai orang lain. Lalu, Romo Marlon mundur dan duduk mendengarkan.

Ini terjadi, ketika aku menyampaikan materi tentang spiritualitas Bunda Maria dan makna Gua Maria.

Romo Markus Marlon adalah adik kelasku jauh beberapa tahun di bawah ketika di Seminari Menengah Mertoyudan. Memang Romo Marlon jauh lebih muda dariku.

Namun, aku mengagumi sikap yang menaruh hormat kepada yang lebih tua.

Aku juga kagum dengan  kepiawaian Romo Marlon  dalam berucap dan menulis.

Sedikit berucap

Romo Marlon hanya mengeluarkan beberapa kalimat secara verbal, namun penuh arti dan mengena sasaran. Kadang kadang pembicaraan via telpon, bagiku tidak jelas.

Selain sinyal yang kurang baik. Juga vokalnya agak lirih, sehingga kalimat-kalimat jadi terpenggal. Lalu, makna yang kutangkap terputus-putus atau malah sepotong sepotong.

Itu kesan pertama bagiku ketika aku berkomunikasi dengan Romo Marlon secara lisan.

Penulis bersiap makan enak menu ikan bersama Romo Marlon dan umat di Dumaring, Kaltim. (Dok. Romo Nico Setiawan OMI)

Ayo ngobrol

Sering aku diajak nongkrong. Pada kesempatan berjumpa dan bersama dengan Romo Marlon di Tanjung Selor, Tarakan, Pantai Dumaring, Yogyakarta, Balikpapan, dan Surabaya.

Yang rutin dan menjadi kebiasaan pada acara rapat, seminar atau rekoleksi, kami pasti cari waktu untuk duduk nongkrong bareng.

Hanya sekadar refreshing, sambil menikmati kopi dan camilan. Secangkir kopi hanyalah sarana untuk menghangatkan relasi kami sebagai teman sepanggilan untuk saling bersyering.

Ketika bertatap, ketika duduk bersama, ketika nongrong di kafe, sekali lagi romo Marlon tidak banyak berucap secara verbal.

Namun dengan bahasa tubuh, Romo Marlon hadir dan mengkomunikasi dirinya apa adanya, “being” pada saat itu “the present” dengan sahabat, teman, umat, orang lain, siapa pun tanpa kecuali.

Romo Marlon MSC suka tampil ceria saat menikmati makan bersama umatnya di Paroki Dumaring, Kaltim.

Romo Marlon mudah berempati, bersimpati, dan masuk dalam relasi pribadi dengan orang lain.

Aku mengalami dan merasakan “kehadiran”-nya mengatakan “sesuatu”, menyampaikan “pesan” personal kepadaku.

Jujur sebenarnya, aku juga mau berkisah, mau berbagi tentang hidupku.

Aku mau berucap. Aku mau mengungkapkan kepada Romo Marlon.

Namun ketika aku duduk santai sambil menikmati kopi, makan cemilan, snack, aku heran Romo Marlon sudah paham dan cepat masuk dalam situasiku tanpa banyak kata.

“Mas, nikmati saja hidup ini,” ungkap Romo Marlon.

Menikmati hidup

Kuperhatikan setiap aku bertemu. Ketika aku main dan tidur beberapa hari di Pastoran Dumaring, memang Romo Marlon menikmati hidup dari menit ke menit.

Apalagi baca buku dan menulis adalah hidup yang dinikmati. Tanpa baca dan menulis bukanlah sosok pribadi Romo Marlon.

Pernah aku menyampaikan kesanku lewat pesan japri: “Banyak kaum berjubah tampil viral di medsos. Mereka suka nyanyi nyanyi di masa pandemic corona”.

Dengan santai, Romo Marlon membalas: “Memang telah jadi  viral, setelah itu dangkal makna.” (WA tertanggal 7 Mei 2020).

Memang jawaban itu santai, singkat, tepat sasaran dan mengena. Tapi sangat berbobot dan mendalam.

Cari waktu santai, sendirian, tenang, sambil membaca, dan menulis itulah hidup bermakna bagi sosok pribadi Romo Marlon.

Latar belakang filsafat dan teologi dan hobi membaca membantu Romo Marlon untuk merefleksi dan merefleksi dan akhirnya mengkristalkan pengalaman hidup dalam sebuah tulisan yang mengalir terus dan sarat akan makna kehidupan.

Pusara Romo Markus Marlon di samping Gereja Paroki Dumaring yang sering dikunjungi umat paroki. (Dok. Marcel)

Aku menikmati tulisan-tulisannya

Walau Romo Marlon sudah tiada, namun kau tetap ada dalam setiap kata dan kalimat yang tersusun rapi dalam buku-buku kumpulan tulisanmu, kumpulan refleksimu, kumpulan pesanmu, kumpulan kritik kritikmu, kumpulan relasimu dengan para penulis dunia.

Kubaca, kubaca, kuulang dan kuulang.

Kau tetap hidup. Kau tetap hidup dalam kalimat tulisanmu.

Kau tetap tersenyum dalam setiap kalimat yang sarat makna. Kau tetap berucap dan itulah hidup yang tiada akhir seperti yang kau tulis.

Proficiat, kau akhirnya bisa mati tatkala bertugas. Doakan aku ini yang masih bertugas di dunia ini.

Tepian Sungai Serayu Banyumas

5 Agustus 2021

Nico Belawing Setiawan OMI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here