WILLIAM Hamilton, teolog yang menjadi pusat kontroversi pada tahun 1960-an karena pendapatnya tentang Matinya Tuhan (God is dead), mungkin sekarang telah menemukan apakah pendapatnya sungguh benar atau sungguh salah.
Hamilton berpulang pada hari Selasa 28 Februari, 2012 pada umur 87 tahun di apartemennya yang berada di pusat kota Portland, Amerika Serikat.
Hamilton mengaku gugatan akan ‘Tuhan yang hidup’ telah menghantui hari-hari hidupnya saat remaja.
Maka dari itulah, selang beberapa tahun, ia mengizinkan kesimpulannya dipublikasikan dalam majalah TIME, edisi 8 April 1966, dengan sampul berjudul “Is God dead?”
TIME menamakan gerakan yang ditokohi salah satunya oleh Hamilton ini sebagai teologi radikal.
Risikonya sudah diduga. Ia berhadapan dengan serangan para teolog pembela ajaran.
Surat bernada amarah dan ancaman pembunuhan terhadap Hamilton diterima redaksi TIME kala itu akibat edisi kontroversial itu.
Tak hanya ancaman, ia pun harus merelakan posisi sebagai guru besar teologi di Colgate Rochester Divinity School pada tahun 1967.
Kemudian, ia pindah mengajar di New College di Sarasota, Florida, lalu bergabung pada Universitas Negeri Portland tahun 1970.
Hamilton mengajar disana selama 14 tahun hingga kemudian pensiun.
“Dia dosen yang berbakat dan inspiratif, pribadi yang dinamis dan berwawasan,” kata teman Hamilton, Ronald Carson. Carson telah berteman dengan sang teolog selama 50 tahun.
Carson terkenang saat ia selama 10 menit tersihir oleh gaya bicara Hamilton.
“Saya tidak tahu apa yang dikatakan,” katanya, “tapi saya ingat dari sesi itu dan berpikir, ‘saya pengen menjadi seperti dia.”
Dalam profilnya seperti dikutip surat kabar The Oregonian pada tahun 2007, Hamilton mengatakan bahwa gambaran tentang Allah sebagai yang maha tahu dan maha kuasa tidak bisa didamaikan dengan kenyataan penderitaan manusia, terutama setelah tragedi kemanusiaan pembantaian massal Hollocaust.
“Saya menulis tentang dua pilihan: ‘Tuhan bukan berada di balik kejahatan radikal semacam itu karena itu ia tidak dapat menjadi sesuatu yang secara tradisional kita maksudkan sebagai Tuhan’ atau ‘Tuhan berada di balik semuanya, termasuk kamp kematian..dan maka dari itu, ia adalah sang pembunuh.”
Karena itulah Hamilton tak lagi percaya akan Tuhan yang hidup.
“Kematian Tuhan adalah suatu metafor,” katanya. “Kita perlu mendefinisikan ulang kekristenan sebagai sebuah kemungkinan tentang hidup tanpa kehadiran Tuhan.”
Anehnya, meskipun Hamilton sering dianggap membuka jalan untuk pemikiran ateisme, dia sendiri bukanlah pengagum penulis-penulis tenar ateis yang menyerang agama secara umum atau agama Kristen secara khusus.
“Ada anggapan diri sebagai yang paling benar, ada ketidakterusterangan dalam tulisan-tulisan [para ateis] itu,” kata Hamilton. “Mereka terlalu pede pada diri mereka sendiri dan meletakkan diri mereka sebagai seorang fundamentalis.”
Hamilton lebih suka melihat dirinya sebagai orang Kristiani yang tidak lagi pergi ke gereja.
“Matinya Tuhan memungkinkan saya memahami dunia. Dengan melihat ke belakang, saya tidak akan pernah menjalani arah lain. Saya telah menghadapi seluruh kecemasan dan pertanyaan mengenai kematian untuk sekian lama.”
Hamilton meninggalkan istrinya yang berumur 62 tahun, lima anak, delapan cucu dan empat cicit.
Sumber: http://www.religionnews.com
Mas Admin, mbok backgroundnya jangan merah gini, tulisannya nggak bisa dibaca je
bukannya putih…ini di tempat saya putih warnanya…thanks Mas Aria…