DUA perempuan penyanyi idola saya bersenandung tentang September.
Banyak yang tak kenal, kalau saya menyebutnya “Mbak Nana”. Tapi orang akan paham dengan nama lengkapnya, Nana Mouskouri.
Sekarang, penyanyi asal Yunani ini berusia 87 tahun dan telah meniti karier selama lima dekade menjadi artis tarik suara yang ciamik. Suaranya bening melengking. Menelorkan ribuan lagu yang hampir semuanya bertengger di top hits dunia.
Simak penggalan lagu favorit saya. Judulnya Try to Remember atau menurut versi aslinya Au Mois du Septembre versi Perancisnya.
Try to remember the kind of September
When life was slow and oh so mellow.
Try to remember the kind of September.
When you were young and the callow fellow.
The fire of September that made you mellow.
Selain “Mbak Nana”, ada idola lain. Saya menyebutnya “Mbak Vina”.
Kembali, orang baru bakal paham bila disebut nama tenarnya, Vina Panduwinata.
Mirip Nana. Penyanyi kelahiran Bogor itu di masa jayanya mempunyai banyak penggemar. Suaranya riang, ringan, bernada manja.
Ingat Vina, ingat September Ceria. Lagu yang tetap digemari banyak orang hingga kini.
Di ujung kemarau panjang
Yang gersang dan menyakitkan
Kau datang menghantar berjuta kesejukan
Kasih
Kau beri udara untuk nafasku
Kau beri warna bagi kelabu jiwaku
Lirik kedua lagu itu senada. Perasaan mellow karena musim beringsut berganti.
Selain Nana dan Vina, dunia tarik suara mengenal paling tidak satu lagi penyanyi tenar yang menggunakan “September” yang digubahnya sendiri.
Kali ini seorang pria.
Namanya Billie Joe Armstrong, vokalis band Green Day.
Billie menulis lagu ini untuk ayahnya yang meninggal pada 1 September 1982 karena kanker kerongkongan.
“Saat pemakaman ayahnya, Billie menangis, berlari pulang, dan mengunci diri di kamarnya. Ketika ibunya tiba di rumah dan mengetuk pintu kamarnya, Billie hanya berkata, “Bangunkan aku ketika September berakhir”. (Wake Me Up When September Ends dari Green Day – Seleb Tempo.co)
Masih banyak “September-September” lain yang menjadi lagu menawan. Bulan-bulan lain tak mampu melawan.
Tapi mengapa September?.
Di kawasan tropis termasuk Indonesia, September adalah bulan spesial. Peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Bahwa tahun ini, September sudah membuat bumi basah kuyub, itulah anomali alam.
Saya tak kuasa menjelaskannya.
Dalam khasanah Jawa yang suka othak-athik gathuk, September dipanjangkan menjadi “sat-sate sumber” (puncak keringnya mata air).
Puncaknya musim kemarau yang segera berlalu.
Bandingkan dengan “Desember” dan “Januari” yang mempunyai kepanjangan “gede-gedening sumber” (berlimpahnya air di mata air) dan “udane sehari-hari” (hujan setiap hari).
September adalah bulan yang serba tanggung. Kemarau beringsut pergi, hujan belum juga datang.
Suatu simbol “ketak-jelasan” suasana. Kondisi yang “tak begini, juga tak begitu”.
Pesan mistisnya adalah, jangan mengambil keputusan, jangan membuat pesta, jangan memulai suatu pekerjaan, juga jangan melakukan perjalanan jauh, di bulan September. Percaya atau tidak, silakan saja.
Ada satu keanehan dengan “September”. Diambil dari Bahasa Latin, Septem, sejatinya berarti 7.
Sebelum tahun 153 SM, September adalah bulan ke-7 dalam sistem kalender Romawi. Maklum, awal tahun mulai di bulan Maret.
Sejak itu, September menjadi bulan ke-9, dalam kalender Gregorian. Januari menjadi bulan pertama.
Apakah sejarah ini turut menyumbang September sebagai bulan yang “bukan ular, bukan belut”?
Silakan tanya ke Nana, Vina atau Billie.
Di Barat, September menandakan akhir musim panas (summer), awal musim gugur (autumn), dan awal tahun ajaran baru.
Dalam beberapa cerita, orang tua juga harus mulai bekerja kembali setelah mengambil cuti. Bukankah memulai sesuatu adalah hal yang paling sulit?
Tak heran kalau September menjadi bulan: “Maju kena, mundur kena”.
Setidaknya ada dua peristiwa tragis yang terjadi di bulan September. Catatan yang sulit dihapus dari sejarah peradaban umat manusia.
Entah sampai kapan.
Pertama, peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia, pada tahun 1965. Data korban tewas tak pernah dapat dipastikan.
Belum dihitung korban “sakit hati” yang bisa jadi belasan kali lebih banyak. Menahan puluhan ribu warga negara yang kebanyakan tak tahu apa-apa, jelas menoreh luka dalam tepat di ulu hati bangsa.
Kedua, penyerangan gedung kembar WTC di New York, pada 11 September 2001. Angka resmi kematian 2996 dan sekira 6.000 luka-luka.
Peristiwa menggemparkan yang menabok Amerika yang pongah sebagai negara adidaya. “Sakitnya sih sudah reda, tapi malunya tak kunjung hilang”.
Meski sudah berlangsung puluhan tahun, peristiwa tragis di bulan September itu terus dipakai sebagai alat politik. Cerita-cerita dengan berbagai versi biasa diputar ulang dan disebar-luaskan.
Kebanyakan dengan pelintiran yang sering basi dan “garing”.
Itulah September.
Tak barat tak timur. Perubahan musim mempengaruhi perilaku manusianya. Banyak yang galau. Bingung.
Apakah harus puas atau kecewa, senang atau sedih, tertawa atau menangis.
“Bewilderment in September – Should one be contented or dissatisfied?” (AVM – 2021)