ADA dua permainan anak-anak yang masih terkenang sampai sekarang yaitu umbul dan setinan. Saya tulis dalam Bahasa Jawa, karena demikianlah namanya ketika kami bermain.
“Umbul” dalam Bahasa Indonesia disebut “gambaran”, sementara “setinan” adalah “kelereng”.
Sebetulnya, tak ada yang istimewa dengan kedua permainan itu. Kami menikmatinya dengan antusias, sampai kadang lupa makan dan tidur siang. Baru setelah ibu berteriak-teriak memanggil pulang, bergegas kami masuk rumah dan mandi.
Ingat umbul atau setinan, tak bisa dilepaskan dari praktik yang dilakukan anak-anak zaman dulu, ketika mereka menang banyak. Lebih-lebih bila gambaran atau kelereng lawan habis dikalahkan.
Sang pemenang biasanya membagi sebagian dari hasil kemenangannya kepada lawannya yang kalah. Agak aneh, ketika sedang berlaga, seluruh kekuatan, ucapan, akal dan semangat dikeluarkan habis-habisan, sementara ketika salah satu menang mutlak dan lawannya tak berkutik lagi, pemenang malah membagi sebagian kepada yang kalah.
Tradisi ini disebut sebagai “mecing”.
Nampaknya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
Pertama, pemenang yang tak membagi hasilnya kepada yang kalah, dipercaya akan kalah dalam permainan berikutnya.
Kedua, porsi pembagian kemenangan adalah hak sepenuhnya sang pemenang.
Ketiga, setelah mendapatkan pembagian, yang kalah tidak boleh lagi melawan pemenang. Pamali, nekad melawan sang pembagi kemenangan, akan kembali menjadi pecundang. Dengan modal pemberian itu, si kalah harus mencari lawan lainnya.
Saya tak tahu, dari mana praktik mecing berasal. Entah pula, dari bahasa mana mecing itu. Tak pernah ada yang menyelidiki asal-usul istilah ini. Mungkin dianggap sesuatu yang tak ada manfaatnya. Tak ada juga yang mempermasalahkannya.
Saya hanya menduga, bahwa mecing diambil dari kebiasaan di Jawa (baca: Indonesia) yang turun-temurun dari peradaban mulia para leluhur.
Mecing dapat mengurangi ketegangan antara sang pemenang dan si kalah. Yang menang dikurangi kegembiraannya, yang kalah dihibur kedukaannya.
Pemenang tidak mutlak menang, yang kalah tidak kehilangan segalanya. Rasa suka dan duka diseimbangkan, agar relasi dan kebersamaan terus terjaga. Diatur agar perasaan kedua belah pihak menjadi sakmadya, tak terlalu senang dan tak terlalu sedih.
Permainan bisa terus berlangsung, dan kegembiraan kanak-kanak bisa ramai terdengar kembali.
Berbeda dengan tradisi mecing, saat saya mendengar lagu yang dipopulerkan oleh grup musik legendaris, ABBA. Judulnya, The Winner Takes It All.
Sepintas lagu itu memberi kesan semena-mena. Yang menang menjadi penguasa tunggal dan mengambil semuanya untuk kepuasannya semata-mata. Tak ada kompromi, tak boleh berbagi (kekuasaan).
Seolah terjadi penindasan oleh yang kuat kepada yang lemah. Semuanya menjadi milik sang pemenang. Yang kalah habis riwayatnya. Sayang, saya tak berhasil mengorek lebih dalam roh sebenarnya dari lagu itu.
Kemenangan dan kekalahan harus diterima begitu saja, maklum itu sudah takdir. Tak boleh lagi ada upaya untuk mengelolanya. Sudah sepantasnya kalau sang pemenang menindas si kalah. Simak refrennya.
The winner takes it all
The loser standing small
Beside the victory
That’s his destiny
Lagu yang didendangkan ABBA itu berlawanan dengan spirit mecing.
ABBA menafikkan sharing power dalam bentuk apa pun. Sangat hitam-putih. Kompromi dianggap tabu, memasang pita perdamaian dianggap aib.
Padahal sejak lahir, hidup selalu dihadapkan pada kompromi-kompromi yang tak berkesudahan, sampai mati.
Semangat mecing justru sebaliknya. Sang pemenang harus berbagi, yang kuat harus memberi.
Peribahasa Jawa menguatkan tradisi ini. “Menang tanpa ngasorake”. Menang, tanpa membuat yang kalah merasa disingkirkan.
Hidup ideal adalah win-win, karena win-lose atau lose-win, cepat atau lambat, akan berubah menjadi lose-lose.
Ada dua kutub yang saling berhadapan.
Silakan pilih sikap yang diambil, ketika sedang menang. Bermain gambaran atau kelereng ala mecing atau menyanyikan dengan gegap-gempita lagu The Winner Takes It All besutan ABBA, grup band asal Swedia?
Pilihan pertama menciptakan kedamaian hati dan berkat bagi lebih banyak orang, meski mungkin dimusuhi mereka yang kecewa.
Yang kedua, seolah-olah merasa digdaya, karena semua orang mengakui kehebatan sang pemenang, meski itu tak akan tahan lama.
Sekali lagi, win-lose tak tahan lama, dan akan segera berubah menjadi lose-lose.
Saya tau lagu The Winner Take it All ABBA dari Saul Goodman
Cukup heran kenapa kata “The Winner Take it all” sering digunakan
Kayak lagu Sweet Victory yang ada di kartu spongebob juga ada kata”The Winner Take it All”
Jadi paham ternyata itu maksudnya
Benar juga kalau dibudaya Jawa ada Mecing
Ingat banget saya jaman dahulu main umbul gabplekan dan setinan
Kalau menang telak pasti gak mungkin ambil semua hasil kemenangan
soalnya pasti kasian sama lawan
dari pada win-lose mending win-win dengan mencing
kalau ambil semua hasil kemenangan malah ujung ujungnya dendam dan bisa gelud
alahasil malah jadi lose-lose dimarahin orangtua
Bagus banget tulisannya
Salam kenal