SEORANG teman namanya Mas Henry Thomas Simarmata. Ia sosok penggiat sosial dan hukum internasional; juga anggota tim Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sekaligus penggiat Kanisius di Yayasan Kanisius Cabang Magelang.
Ia membagikan cerita rakyat (folkore) yang sering dihubung-hubungkan dengan Natal. Berikut cerita yang dibagikan pada Sesawi.Net dari kawasan Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang, 24 Desember 2022.
Inilah kisahnya
Mungkin sudah pernah ada yang dengar atau baca kisah ini. Kisah ini sering dihubungkan dengan Natal, atau hari-hari doa syukur sesudah Natal.
Ini kisah rakyat -semacam folkore– yang sangat populer di Syria (Suriah) dan kemudian dikisahkan berulang-ulang. Saya sendiri sudah mendengar kisah ini beberapa kali di masa lalu.
Mungkin penceritaannya lebih kuat daripada kejadian sebenarnya.
Melihat bintang
“Ayo kita lihat apa itu. Kalau perlu kita bawa sutera dari Hanren (Tiongkok).”
Satu dari raja-raja lokal di Syria tergopoh-gopoh menyiapkan bekal untuk melihat bintang.
Sebut saja Raja 9. Hobinya mengamati dan melihat bintang. Suatu kali ia tertegun melihat satu bintang yang antik. Raja-raja lokal yang punya hobi yang sama pun melihat itu.
Mereka lalu “janjian” pergi bersama-sama. Mereka membawa bekal penting dari Oman seperti mur. Yang lain membawa bekal kemenyan dari Negeri Atap Langit, dan emas sekedarnya dari sungai-sungai di Armenia.
Bekal ini sekedar bekal saja. Untuk ditukarkan dengan kekaguman mereka pada bintang ini.
Si Raja 9 pergi bersama dengan raja-raja lokal lain. Senang ia mengikuti arah bintang. Bintang itu masih bersinar, enak untuk dilihat. Setelah beberapa hari, bertemulah mereka dengan desa yang habis diserang dan dibakar.
Sangat mungkin baru saja terjadi perang lokal.
Mengapa ini bisa terjadi, padahal di penanggalan semitik, Bulan Terang biasanya tidak ada perang. Bulan terang terjadi di akhir November sampai pertengahan Januari.
Ibu dan anak-anak sampai terlantar dan tidak punya makanan. Sumber air pun “ditablek’, ditutup paksa.
Ini perang di bulan terang? Entah dari mana.
Si Raja 9 berkata pada raja-raja yang lain, “Silahkan, kalian pergi dulu. Aku urus dulu desa ini.” Ada dua raja yang ikut mengurus desa. Raja yang lain bergegas menuju bintang.
Bertemu desa hangus
Ternyata mengurus desa hangus ini tidak mudah. Raja 9 dan 2 Raja lain kesulitan mengurus desa ini. Tidak terasa satu tahun dua bulan berlalu. Setelah dirasa cukup bantuan datang, dan rumah mulai dibangun, Si Raja 9 dan yang lain pun merasa sudah cukup.
Sistem sosial lokal sudah cukup kuat untuk hidup normal.
Mereka berangkat di Bulan Terang. Di Bulan Terang yang sama ketika mereka memulai perjalanan. Si Raja 9 mulai berjalan. “Ah, bintang masih kelihatan, cuma agak redup. Ayolah cepat”.
Begitu Si Raja 9 tersenyum. Kain hanren sichou-nya masih disimpan rapi.
Bertemu desa diserang hama belalang
Baru berjalan 1 hari, mereka bertemu dengan desa yang diserang hama belalang. “Aneh, kenapa ada belalang di bulan terang. Ah sudahlah, ini mungkin ada sebab lain.”
Si Raja 9 kasihan dengan desa ini. Ia berkata ke Raja yang lain “Sudahlah, silahkan kalian pergi dulu. Aku akan mengurus desa ini”.
Kali ini, raja lain sudah tidak tahan, ingin ketemu bintang. Si Raja 9 tidak merasa kecil hati. Kain suteranya cukup tahan, sedangkan kemenyan atau mur bisa aus.
Teman raja yang lain berjalan.
Si Raja 9 berpikir keras bagaimana mengurus desa ini. Ia mulai menanam di tanah yang tipis humusnya tanaman semak, yang dapat menahan pasir. Tanaman ini dapat dipakai untuk melindungi ladang dari hama belalang. “Okelah, aku pakai cara ini.”
Desa ini pulih lebih lama dari desa sebelumnya yang butuh waktu 1,2 tahun.
Si Raja 9 agak kepayahan, tapi ia berhasil mengajak tokoh-tokoh lokal yang lain membuat sistem yang sama. Seluruh bekal dihabiskan untuk mengurus desa ini. Tinggal beberapa dinar saja, disimpan, siapa tahu ketemu bintang, dan ia perlu menginap.
Setelah 1,6 tahun, ia berjalan lagi, dengan rasa puas karena desa sudah pulih dan sudah tahu cara melindungi ladang dan panen mereka.
Bertemu seorang ibu yang terdampar dekat sumur
Bintang sudah sangat redup, sudah sulit dilihat. Tapi ia tetap berjalan. Baru dua hari, ia ketemu ibu yang melahirkan dengan terpaksa (dampak dari perkosaan beberapa waktu sebelumnya). Ibu ini terdampar di pinggir sumur.
Si Raja 9 melihat dan merawat ibu ini. Karena cukup parah, dan si ibu ini tidak punya apa-apa, si Raja 9 ini menggunakan hanren sichou-nya untuk melapis si ibu dan melampin si anak.
Agak kecewa sebetulnya Si Raja 9 ini, karena kain yang hendak diberikan ke siapa pun yang berada di bawah bintang itu sekarang sudah kotor dan sudah tidak layak menjadi hadiah.
“Okelah, tak mengapa”.
Masih ada beberapa dinar. Tidak mungkin ia memberikan dinar ini, karena ia masih harus berjalan. Tapi beberapa dinar bolehlah. “Toh aku raja, bisa minta raja yang lain kalau ketemu raja”.
Dinar pun berpindah dari kantong Si Raja 9 pada si ibu.
Ibu-ibu yang lain dipanggil, tentu dengan tidak mudah karena jarak, dan karena rasa takut. Si Raja 9 memasang logo kerajaannya untuk melindungi ibu-ibu ini. Empat bulan berlalu. Lumayan. Sudah ada cara untuk merawat dan melindungi.
“Kali ini aku harus jalan,” kata Si Raja 9. Bintang masih ada, cuma ini tinggal titik saja. “Kegilaannya” pada perbintangan membuat Si Raja 9 tidak menyerah. “Ini bintang unik.”
Ia lanjut berjalan.
Setelah beberapa hari, ia tiba di tempat di mana ada kerumunan besar. Heboh. Ribut. Ada orang yang dimaki-maki di tengah kerumuman itu. “Tidak mungkin ini tempat bintang itu. Kenapa banyak orang beringas dan ribut sekali?”
Ia masih punya satu logo kerajaan. Karenanya, ia berani mendesak dan melihat.
Di tengah kerumunan itu ada orang yang berdarah dan ditendang. Kali ini ia juga mau menolong, hanya masalahnya massa sudah tampak menggila. Prajurit Romawi-pun hanya berjaga dan tidak melakukan apa pun.
Yang ini mirip dengan kejadian sebelumnya. Ini kejadian yang tidak sanggup ia tangani.
Sangat sangat kecewa, ia keluar dari kerumunan itu. Semangatnya untuk melihat bintang sudah musnah. Ia pergi dari kerumunan itu. Ia gunakan dinar yang masih tersisa untuk menginap, melepas lelah; juga melepas kecewa.
Setelah beberapa hari, ia hendak kembali ke Syria. Sesudah membeli ini dan itu, sekadar cukup untuk kembali, ia berjalan. Kali ini juga saat Bulan Terang. Ia mulai bergegas. Ia mampir ke tempat doa yang berada di tempat itu.
Banyak orang berdoa di situ. Ia ikut berdoa, meski ia bukan dari kalangan mereka. Tidak sengaja ia membaca perkamen (pengganti kertas yang dibuat dari kulit binatang), “Saat kamu menolong mereka yang paling tersingkir dan hina, itu saat kamu bertemu Aku.”
Ia lalu pulang dan selamat tiba di tempat asalnya.
#menoreh24des2022