INI sudah menjadi hari keenam saya berada di tlatah negara Ameria Serikat.
Hari pertama berupa menikmati rute perjalanan panjang selama penerbangan 23 jam dari Jakarta hingga kemudian tiba mendarat dan sampai di Los Angeles, California.
Tidak ada suasana takut pandemi di LA. Malah tidak ada pemeriksaan apa pun soal vaksin dan PCR test. Memang pandemi tidak harus membuat kita takut.
Hati-hati, tetapi juga oke-oke saja. Sebagian orang masih pakai masker. Sekolah-sekolah sudah mulai buka. Mal dan resto sudah menerima kunjungan banyak orang.
Mendoakan arwah Steve
Hari kedua saya ikut misa arwah untuk almarhum Steve yang meninggal karena terpapar Covid-19. Almarhum berasal dari Surabaya, tetapi keluarganya banyak tinggal di California.
Yang ikut misa terbilang banyak. Sampai 200-an orang. Misa mendoakan almarhum Steve ini dipimpin oleh tiga imam asal Indonesia.
Almarhum Steve meninggal dunia, ketika usianya masih produktif. Baru 43 tahun. Ia sosok orang Katolik di LA yang berperilaku sangat ramah. Juga sangat baik beriman.
Ortunya bernama Pak Anggai dan Bu Agnes serta adinya, Meryl, tampak sangat tabah. Mereka bilang, Tuhan rupanya sudah tidak sabaran. Karena inginkan Steve bisa kembali ke pangkuan-Nya – Tuhan yang sangat mencintai dan juga dicintai Steve dan semua yang telah datang untuk mendoakan Steve.
Konon katanya, keluarga besar ini boleh dibilang berjiwa sangat murah hati. Utamanya dalam urusan donasi amal kasih.
Donasi amal kasih, demikian kata mereka, dilakukan karena Tuhan itu juga selalu “royal” sekali dalam kegiatan-Nya berbagi berkat.
Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan. Bukan untuk diri kita, tapi untuk dibagikan lagi. Kepada sesama yang membutuhkan. Begitulah kurang lebih inti keyakinan iman keluarga almarhum itu.
Cari kerja yang membahagiakan
Hari ketiga saya mewawancarai beberapa staf paroki di sebuah lokasi di LA. Mereka pernah kerja di luar paroki dengan jumlah gaji berkali-kali lipat.
Tapi semuanya memilih kerja di paroki dgn gaji kecil. It is not about money. Mereka umat paroki yang aktif sejak muda sampai sekarang.
Kerja untuk paroki, karena memberi kebahagiaan dan mengalami kedekatan dengan Tuhan dan komunitas.
Kata mereka, kerja itu bukan untuk cari uang. Tapi untuk mengalami bahagia dan dekat dengan Tuhan dan keluarga.
Hari keempat saya jumpa keluarga Inge dan Dian dari Bandung yang sudah merantau sekitar 20 tahun di LA.
Di Amerika Serikat, kata mereka, harus kerja keras kalau mau hidup. Ternyata sebagian orang Indonesia di sini juga mulai punya kenalan orang bule lokal.
Tapi sahabat dan teman sejati, tetap saja sahabat lama yang memang sudah bersahabat sejak kecil atau remaja. Rupanya persahabatan masa lalu itu tidak bisa putus dan tidak pernah bisa digantikan dengan banyak kenalan baru.
Hari kelima saya jumpa Pak Ardian, konsul di Konsulat Jenderal RI di LA. Ia memilih kerja di Kemlu sehabis Krisis 98 untuk memperkenalkan lembaran baru Indonesia ke dunia global. Prinsipnya kerja melayani dengan hati.
Bayangkan, Konjen RI di LA ini telah berhasil melakukan vaksinasi terhadap 300 orang Indonesia yang sudah overstay alias visanya telah expired dengan jaminan tidak dideportasi.
Vaksinasi bagi orang asing yang overstay ini tidak akan terjadi di mana pun di seluruh Konjen RI. Akhirnya mereka yang sudah overstay tidak takut lagi divaksinasi. Di mana pun di seluruh wilayah AS.
Saya juga mendengar ada orang di AS, termasuk orang Indonesia di Amerika, yang memilih sikap hidup tidak mau divaksin. Itu karena “tertelan” dan terlanjur percaya dengan teori konspirasi. Atau, karena tahunya vaksin itu hanya untuk emergency use.
Padahal, itu sudah di-approved FDA – BPOM-nya AS. Padahal secara global yang kena Covid-19 itu sebanyuak 85% dari mereka yang tidak divaksin.
Kalau sudah divaksin dan sempat terpapar kena Covid-19, maka mereka jadi cepat sembuh. Saya juga divaksin lagi dengan Pfizer dosis pertama di LA gratis dan tanpa ditanya-tanya. Tiga pekan lagi, dosis kedua bisa dilakukan di mana pun.
Ketemu dengan yang dulu membaptis saya tahun 1978
Saya lalu jumpa juga Pak Ignatius Wibisono Haryono. Tanggal 17 Desember 1978, saat masih jadi imam pernah membaptis saya di Gereja Katedral Bandung.
Ia mendukung prinsip Partai Republik yang lebih memegang ajaran agama dan bertanggungjawab.
Ia sudah divaksin. Di sisi lain, ia memahami bahwa pilihan politik bisa berbeda. Itulah AS yang demokratis, ketika siapa pun bebas memilih apa pun; asal bertanggungjawab.
Ia memutuskan copot jubah, meninggalkan imamat, lalu menikah. Kini masih tanpa anak, namun ia merasa hidup bahagia dengan isterinya, dulunya seorang guru di Sekolah Santa Angela Bandung.
Ia akrab dengan semua keponakan. Dulu sebagai pastor, dia sosok imam cemerlang di Keuskupan Bandung. Rupanya perjalanan hidup tiap orang bisa berbeda. Memilih untuk tidak mau menyalahkan siapa pun dan apa pun akan lebih membebaskan dan menghormati serta melegakan dan membahagiakan.
Unruk saya, ini sungguh ajaib bahwa saya bisa jumpa nama pastor yang namanya ada tertulis di Surat Baptis saya.
Saya lihat bapak ini tampak sehat dan bahagia. Ia juga lega dan hepi berjumpa saya.
Hari keenam ini, saya berkunjung ke Christ Cathedral yang dulu bernama Chrystal Cathedral. Konon, gereja ini dibangun oleh Penginjil Robert Schuller.
Karena bangkrut, kepemilikan gereja ini lalu dilelang. Robert sengaja memilih Gereja Katolik sebagai pemilik baru agar bangunan gereja masih tetap akan dipakai sebagai gereja. Untuk memuji Tuhan.
Butuh kebesaran hati pemilik lama yang berbeda dengan Gereja Katolik.
Keuskupan Orange juga hepi, karena tidak perlu bangun gedung gereja katedral baru dan tinggal renovasi saja. Maka Keuskupan Orange dalam waktu kilat sudah bisa mendapatkan bangunan gereja katedral yang sangat indah dan megah.
Agama di AS masih sangat penting bagi banyak orang. Agama dan Tuhan belum benar-benar ditinggalkan oleh banyak orang.
Itu kabar gembira.
Salam hangat dari AS.