Puncta 17.01.23
Selasa Biasa II
Markus 2: 23-28
DALAM kehidupan, kita akan sering menghadapi persoalan yang dilematis. Kita dihadapkan pada sebuah pilihan dari dua hal yang saling bertentangan.
Misalnya, pada hari Minggu saya harus ke gereja untuk sembahyang, di waktu yang sama ada tetangga sakit yang harus segera dibawa ke rumah sakit.
Manakah yang harus saya lakukan? Tetap pergi ke gereja dan membiarkan tetangga kesakitan atau menolong tetangga tapi mengorbankan sembahyang pada hari Minggu?
Banyak sekali dilema-dilema yang mesti kita hadapi. Dari yang mudah sampai yang sangat rumit menyangkut hidup dan mati seseorang.
Dalam kisah lahirnya Wisanggeni, Batara Brahma menghadapi dilema yang sulit. Brahma punya anak namanya Dewi Dresanala yang sudah diperistri Arjuna.
Namun Batara Guru, Ayah Brahma memerintahkan agar Dresanala diceraikan dari Arjuna dan diserahkan kepada Dewasrani, Anak Batara Guru dengan Batari Durga.
Menolak perintah artinya melawan orangtua yang dihormati dan pasti akan dihukum namun jika mentaati perintah dia harus memisahkan cinta Arjuna dan Dresanala yang sudah mengandung bayinya.
Brahma lebih takut pada perintah Batara Guru, maka dia memisahkan anaknya itu dengan Arjuna.
Gonjang-ganjinglah seluruh Kahyangan. Rusak segala aturan moral dan perikedewataan.
Wisanggeni lahir dan mengobrak-abrik seluruh Kahyangan karena para dewa justru melanggar aturannya sendiri.
Dalam perikope ini Yesus dihadapkan pada sebuah kasus ketika murid-murid-Nya memetik bulir-bulir gandum pada hari Sabat.
Orang Farisi protes, “Lihat. Mengapa mereka melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?”
Yesus menjawab dengan memberi contoh tentang tindakan Daud yang melanggar aturan di Bait Allah. Daud dan pengikutnya melanggar hukum karena makan roti sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam (1 Sam 21:1-6). Tetapi Daud tidak dianggap bersalah.
Tuhan Yesus mengambil contoh ini untuk menunjukkan bahwa kadang kewajiban moral bertabrakan dengan aneka aturan seremonial.
Maka yang harus dikalahkan adalah aturan-aturan seremonial seperti hari Sabat. Menyelamatkan nyawa manusia harus lebih diutamakan.
Kepada kaum Farisi, Yesus memperkenalkan siapa Diri-Nya. Dia adalah Anak Manusia. Anak Manusia adalah gelar Raja Dunia yang berkuasa atas surga dan bumi.
Dengan memakai sebutan Anak Manusia itu, Yesus menyatakan Dialah Raja yang menguasai segala waktu, termasuk hari Sabat.
Karena kaum Farisi tidak bisa memahami diskusi ini, mereka tetap tidak menangkap apa maksud “Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat.”
Mereka hanya membaca aturan secara letterlijk dan kaku. Sekecil apa pun aturan dilanggar, mereka mudah sekali menghakimi dan menyalahkan.
Yesus mengingatkan kepada mereka, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.”
Aturan dibuat untuk memanusiakan manusia, jangan sampai manusia diperbudak oleh aturan.
Bagaimana sikap kita?
Pergi ke Ganjuran pada malam Jum’at,
Bersemadi dibawah candi yang keramat.
Lebih menjunjung manusia bermartabat,
Daripada kaku pada aturan yang mengikat.
Cawas, bukan manusia untuk hari Sabat…