Puncta 08.03.23
Rabu Prapaskah II
Matius 20:17-28
GAYA hidup mewah yang ditunjukkan oleh anak dan isteri pejabat di negeri ini mengindikasikan bahwa jabatan bisa digunakan untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Sudah tidak asing lagi kalau para pejabat memiliki harta kekayaan yang berlimpah, jauh dari rakyat biasa. Memang sungguh memprihatinkan.
Mereka suka memamerkan mobil dan rumah mewah, berkonvoi menguasai jalanan dengan moge. Para isteri sering piknik ke luar negeri, belanja barang-barang bermerek terkenal.
Pejabat eselon tiga saja harta kekayaannya bisa di atas 50 milyar, kita bisa bertanya; dari mana dan dengan cara apa mereka bisa meraup kekayaan sebesar itu?
Kekuasaan atau jabatan bisa dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri.
Berbeda dengan Jose Mujica, mantan Presiden Uruguay yang menjabat pada tahun 2010-2015. Ia disebut sebagai presiden termiskin, karena tetap tinggal di rumahnya yang sederhana dan bertani di pekarangannya.
Bahkan Mujica menyumbangkan hampir 90% gajinya untuk masyarakat miskin.
“Saya disebut ‘presiden termiskin’, tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mempertahankan gaya hidup yang mahal, dan selalu menginginkan lebih, lebih dan lebih,” katanya.
Yesus mengingatkan murid-murid-Nya berhubungan dengan kekuasaan. Ketika Ibu Zebedeus datang meminta kedudukan bagi anak-anaknya, Yesus mengajarkan nilai-nilai pelayanan.
Yesus berkata, “Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.”
Kekuasaan tidak dinilai dari seberapa besar harta kekayaan yang bisa diraihnya. Kekuasaan dipandang sebagai sarana pelayanan untuk semakin menyejahterakan rakyat banyak.
Kekuasaan bukan untuk memperkaya diri, tetapi kekuasaan dipergunakan untuk semakin banyak melayani.
Dasar dari semangat pelayanan adalah teladan Yesus sendiri. “Sama seperti Anak Manusia; Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Bapak Kardinal Darmoyuwono bisa menginspirasi kita. Beliau adalah Uskup Agung yang rela mundur dari jabatan uskup dan memilih menjadi “pastor pembantu” di Paroki Banyumanik, Semarang.
Pemimpin bukan penguasa, tetapi ia adalah pelayan. Jabatan atau kekuasaan bukan untuk diri sendiri, tetapi demi pelayanan kepada semua orang.
Siapa pun kita yang dipercaya untuk menjadi pemimpin, semoga menyadari bahwa pemimpin adalah pelayan atau abdi masyarakat.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan semboyan yang bagus bagi kita semua; “Ing Ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Pergi ke pasar buah pada hari Jumat,
Membeli buah semangka dan alpukat.
Pemimpin adalah abdi masyarakat,
Ia datang untuk melayani yang melarat.
Cawas, belajar melayani dengan hati…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr