Minggu 17 September 2023.
- Sir. 27:30 – 28:9.
- Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12.
- Rm. 14:7-9.
- Mat. 18:21-35
MENGAMPUNI adalah salah satu perintah yang mungkin gampang diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Banyak hati terlilit kebencian.
Kebencian menjadi sebuah teka-teki yang sulit dipahami. Walaupun tidak ada kebaikan yang ditimbulkan dari sebuah kebencian, sebagian orang tetap memilih untuk menyimpan kebencian.
Walaupun kebencian menghancurkan diri sendiri maupun orang lain, sebagian orang memilih untuk tidak menghindar.
Kebencian juga membuat seseorang “sangat peduli” dengan orang yang dia benci. Sang pembenci selalu memerhatikan apa yang dilakukan oleh orang yang dia benci.
Dia membiarkan hatinya dikendalikan oleh orang yang dia ingin binasakan.
Kebahagiaan orang lain menjadi kesedihannya, kesedihan orang lain menjadi kebahagiaannya.
Sang pembenci tidak memiliki hidup yang mandiri. Dia telah mengerdilkan dirinya sendiri.
Anehnya, banyak orang tetap menyukai situasi ini. Menyimpan kebencian dianggap sebagai kebanggaan. Sebaliknya, memberikan pengampunan dipandang sebagai kelemahan.
Di sisi lain ada orang yang ingin membuang kebencian tetapi tidak mampu melakukan.
Mereka merasa tidak memiliki alasan yang kuat untuk melakukannya. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Mengapa sebagian orang sukar untuk mengampuni orang lain? Bagaimana melepaskan kebencian dalam diri kita?
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?”
Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
Bagi kita manusia, mengampuni kesalahan yang menyakitkan hati kita, apalagi yang sudah berjalan begitu lama, tentulah hal yang sangat sukar dilakukan.
Ada dorongan untuk memberikan hukuman atas orang lain yang telah melukai kita meski seringkali tidak cukup untuk menghilangkan kebencian dalam hati kita.
Keadilan kadangkala bukan jawaban atas kebencian, karena bagi hati yang dikuasai oleh kebencian tidak pernah ada rasa cukup atas keadilan.
Dalam upaya mencari keadilan (bagi kita), kita justru kadangkala bisa mendatangkan ketidakadilan (bagi orang lain). Menjaga hati adalah kuncinya.
Kebencian adalah produk dosa, pengampunan adalah produk kasih karunia.
Yang hatinya dikuasai oleh dosa pasti menginginkan pembalasan yang jauh melampaui yang seharusnya.
Yang hatinya dikuasai oleh kasih karunia pasti rindu memberikan pengampunan yang melampaui batasan diri.
Karena hanya pengampunan yang tak terbatas bisa menjadi jembatan kasih dalam kehidupan ini.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bisa menjadi pelaku kasih yang melimpah bagi mereka yang menyakiti diriku?