Jumat, 11 September 2020
1Kor 9:16-19, 22b-27 dan Luk 6:39-42
DI perbatasan antara desa Nobo, Kecamatan Wulangitang dan desa Komga, Kecamatan Titehena, hidup sepasang suami isteri. Suami buta, sedangkan isteri ada gangguan pada pendengaran.
Meski demikian keduanya tetap melakukan aktivitas seperti orang normal. Mereka selalu bersama ke kebun. Sang isteri menuntun suaminya, dan suami dengan teliti memasang pendengarannya untuk memastikan kendaraan yang datang.
Kalau ada bunyi mobil dari jauh, suami akan katakan: Awas ada mobil. Dan sang isteri segera menuntun suaminya ke pinggir. Mereka berdua saling memberi dan melengkapi dari apa yang mereka miliki.
Suami memberi dari pendengaran yang tajam untuk istrinya dan istri memberi dari kemampuan melihatnya untuk suami.
Mata isteri jadi mata suami dan telinga suami menjadi telinga isetri.
Orang menjadi guru bila mampu membetulkan orang lain, orang menjadi hakim bila bisa menilai dengan tepat.
Bagi Yesus, untuk menjadi demikian, orang harus mendalami kenyataan diri sendiri sebelum memberikannya kepada orang lain. Orang hanya bisa memberi apa yang menjadi miliknya.
Orang bukan hanya cukup melihat pada orang lain, melainkan harus lebih dulu melihat dirinya sendiri.
Balok harus diangkat dari mata kita, sebelum mengambil selumbar dari mata sesama.
Penting dalam kehidupan bersama ini menyumbangkan ketulusan dan kejujuran, bukan kemunafikan. Kita mesti jujur dan tulus mengolah kedalaman batin yang sesuai dengan perilaku hidup kita.
Menjadi pewarta kebaikan itu, tidak mesti menunggu ada upah. Mewartakan kabar baik adalah tugas yang kita terima dari Allah. Tak perlu menunggu ada upah.
Seperti Santo Paulus kita boleh berkata: Upahku adalah bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah (1Kor 9:18).
Kita mesti terus belajar menambah perbendaharaan diri, agar bisa berbagi kebaikan dengan sesama. Kita memberi dari apa yang kita miliki. Semoga.