Memaafkan, Tanda Kebesaran Jiwa

1
3,377 views
Ilustrasi

KATA maaf menjadi beken akhir-akhir ini. Bukan karena kata ini merupakan kasanah baru dalam dunia bahasa atau digunakan oleh seorang tokoh tertentu seperti Tukul yang kerap mengucapkan idiom terkenalnya ‘kembali ke laptop’ melainkan karena minggu-minggu ini suasana Idul Fitri masih kita rasakan.

Kembali ke fitrahnya, kepada kesempurnaan mensyaratkan adanya rekonsiliasi antara diri sendiri dengan sesama manusia. Tentu saja rekonsiliasi ini seharusnya disadari juga berlaku pada hubungan kita dengan makhluk lain dan lingkungan sekitar kita, dengan dunia ini.

Tak ada artinya bila rekonsiliasi hanya terjadi pada satu sisi kehidupan kita, sementara ketidakharmonisan terbesar yakni hubungan dengan alam yang makin panas ini tidak dikembalikan ke dalam posisi normal.

Ingatan masa kecil
Dengar kata maaf mengingatkanku pada sejuta pengalaman yang pernah membuatku merasa begitu pedih, perih bila mengenangnya. Salah satu ingatan itu adalah kenangan akan ayahku yang telah meninggal 7 Juni lalu. Sebelum meninggal, pada saat sakit, dan beberapa tahun sebelum sakit jantung menyambanginya, aku kerap mendengar cerita dari ibuku mengenai perlakuan ayahku.

Sebenarnya mengingat hal ini membuatku sedih, tapi biarlah aku ceritakan. Semoga membuat orang lain belajar dan menjadi manusia yang baik.

Ayahku, menurut ibuku dan dari pengamatanku sendiri kerapkali membuat ibuku kecewa dan korban. Kata ibu, sejak kecil aku tidak pernah digendong ayah, meski saat besar ayahku selalu berusaha dekat denganku dan dia bersusah payah menyekolahkanku, memberi pakaian dan kebutuhan-kebutuhan yang kuperlukan.

Tapi lebih dari itu, ayahku kerap memperlakukan ibuku sebagai seorang yang tidak tahu apa-apa, orang bodoh katanya. Ketika ayahku berdiskusi dan berbicara dengan orang lain, dan ibuku menyela, dia cenderung menolaknya dengan mengatakan,”Ah kamu jangan ikut-ikut, kamu tak tahu apa-apa!”

Bila bicara denganku pun dia tidak pernah mau kalah. Debat selalu berhenti sampai pada rasa sakit hati yang tidak mengenakkan. Debat terakhir yang membuat ayahku sampai mengatakan aku sombong adalah ketika aku bicara panjang lebar dengannya di suatu malam jauh hari sebelum dia sakit jantung. Aku lupa kapan persisnya. Yang kutahu, aku sempat mengoreksi pendapatnya yang menurutku memang salah, tapi dia tidak mau diberitahu bahwa itu salah.

Pengalaman paling tidak mengenakkan adalah ketika ibuku disalahkan karena pinjaman uang cukup banyak menurut kami. Dan kesalahan semata dilimpahkan pada ibuku. Meski mungkin kesalahan ada pada ibuku aku tetap yakin bahwa semua itu kesalahan mereka berdua sebagai suami istri. Sampai meninggalnya, aku tidak tahu kenapa semua itu terjadi. Aku pun enggan menanyakan pada ibuku.

Yang menggangguku adalah saat beberapa tahun ayah dan ibuku pisah ranjang. Benar-benar pisah ranjang meski tidak cerai. Mereka masih satu rumah tapi selalu tidur di tempat tidur yang berbeda. Aku tak tahu berapa lama itu terjadi. Yang jelas, pengalaman itu membuatku menangis ketika aku menyadari bahwa tampaknya hidup ayahku tak akan lama lagi.

Sampai kemudian meski tidur sekamar pun, mereka satu sama lain tidak mau tidur seranjang. Ayahku di kasur lain, ibuku di ranjang satunya. Aku menangis dengan ketidakakuran yang mereka alami, meski kata ibuku, beberapa hari sebelum meninggalnya, ayahku sempat mau tidur di samping ibuku.

Ditambah lagi kalau ingat cerita mengenai kata-kata yang kurang menyenangkan yang pernah mampir di telinga ibu.

Berpihak pada korban
Aku, yang pernah diajari untuk selalu berpihak pada korban tentu saja memihak ibuku meski dia juga ikut bersalah. Aku sakit hati dengan perlakuan ayah terhadap ibuku. Aku tak rela menerima semua itu. Aku khawatir perselisihan itu dibawa mati.

Tapi, beberapa bulan sebelum meninggalnya aku sempat memaafkannya. Untungnya hal itu sudah kulakukan karena aku tidak sempat bertemu dengannya. Terakhir bertemu, enam bulan sebelum dia meninggal. Setiap kali dengan hati sedih aku mengatakan dalam hati, “Ayah, aku maafkan engkau dengan setulus hati……”

Meski sikap yang tak menyenangkan mendera pada ibu selama bertahun-tahun dan pernah juga padaku, “aku memaafkanmu” kataku dalam hati. Aku lega setelah mengatakan itu. Sempat berulang kali aku mengucapkannya saat pikiranku kembali mampir pada pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan itu.

Dan kata maaf itu membuatku lega. Kata maaf itu membuat hatiku ‘plong’ meski sedikit berat pada awalnya. Kata maaf itu membuat segar kembali hatiku.

Dan hal itu pula yang kerap terjadi saat perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan datang padaku entah itu dari kawanku, tetanggaku di Semarang atau dari siapa pun.

Maaf juga seringpula mesti aku lontarkan dalam hati “aku memaafkanmu” ketika sopir angkot atau metromini tiba-tiba menghadangi jalanku. Maaf yang keluar dengan berat hati juga muncul ketika adikku memperlakukanku bukan sebagai kakak yang selayaknya dihormati.

Dan tentu saja, itu membuatku sakit hati hingga terasa berat untuk memberi maaf. Aku yakin, semua orang pernah sakit hati dan kecewa. Tak ada orang yang pernah merasa semuanya berjalan lancar dan tak ada apa-apa.

Jiwa besar
Banyak orang juga mengakui, memberi maaf apalagi meminta maaf bukan perkara mudah. Memberi dan meminta maaf butuh jiwa besar. Dengan begini kita seolah diminta untuk melepaskan keegoan kita bahkan menurunkan derajat kita.

Tapi benarkah dengan memberi maaf dan meminta maaf kita menurunkan derajat sebagai manusia? Justru sebaliknya. Sikap memaafkan dan meminta maaf justru meninggikan harkat kita sebagai manusia. Kita mungkin perlu merendahkan hati kita, tapi tidak merendahkan diri.

Ketika permintaan dan pemberian itu muncul, keagungan kita sebagai manusia menjadi tampak dan bercahaya.

Dan tentu saja dengan maaf, sakit hati itu hilang. Beban di dada lenyap. Maaf menyembuhkan luka batin yang selama ini menggumpal dan meracuni hati.

Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, derajat rendah sebagai manusia itu makin jadi nyata.”

Saya sadar kenapa saya mesti menghadapi orang-orang yang sulit diatur seperti para sopir angkot, metromini, dan mereka yang tidak aturan di jalan. Saya juga mulai sadar kenapa saya harus berhadapan dengan teman-teman yang tidak tahu malu bahwa dirinya melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan semua pihak saat yang lain bekerja dia sendiri tidak. Saya sekali lagi disadarkan kenapa ada saudara dekat yang menjengkelkan karena memperlakukan istrinya dengan kasar, sulit diberi nasihat dan kerap memfitnah.

Keadaan-keadaan sulit, emosi-emosi negatif ini menjadi bahan baku bagi pertumbuhan jiwaku. Ketika hal-hal tidak mengenakan itu menimpaku, perasaan marah kerapkali menjadi hal biasa.

Tapi aku sadar, kemarahan itu bukannya melepaskan dan membebaskanku, melainkan justru memenjarakanku. Kemarahan bukanlah sebuah pertunjukan kekuatan yang harus dipamerkan. Sikap marah justru menunjukkan disitulah kelemahanku.

Marah itu kelemahan
Saat kita menjadi korban, kerapkali kita keliru menganggap kemarahan sebagai kekuatan. Padahal salah paham ini meningkatkan siklus kekerasan. Korban kejahatan berbalik menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. Tak jarang ketika perlakuan sopir angkot yang tidak menyenangkan itu kubalas dengan perlakuan yang sama seperti misalnya aku berhenti lama menghadang kendaraan mereka, pada saat itulah aku justru berbalik menjadi jahat.

Kemarahan, tampaknya merupakan wajah lain dari ketakutan. Ketakutan bahwa aku direndahkan. Ketakutan bahwa orang lain bisa berkuasa atas diriku. Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, derajat rendah sebagai manusia itu makin jadi nyata.

Karena itu, memaafkan meski pada awalnya agak sulit, sebenarnya adalah jalan menuju ketentraman batin. Para suci sendiri pernah berkata,”Berilah maaf tujuh puluh kali tujuh kali” yang artinya ‘maafkanlah siapa pun juga sebanyak mungkin’. Kebencian dan prasangka sebaliknya menimbulkan kekerasan dan rasa sakit, tak hanya secara fisik tapi juga secara batin. Dan hanya cintalah yang dapat menyembuhkannya.

Memaafkan, bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti mengerti. Kita tak dapat membuka hari kita kepada orang lain kecuali hati kita terbuka terhadap diri kita sendiri.

Peribahasa dalam A Course in miracle mengungkap dengan jelas bahwa “tanah yang paling suci adalah tanah di mana kebencian lama telah menjadi kasih sayang sekarang.”

Saya sudah memaafkan teman-teman semua dan siapa pun yang menyakitiku. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Semoga semua bahagia!!!!!

1 COMMENT

  1. Tulisan yang bagus.
    Betul. Memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa karena memang dalam pelaksanaannya tak semudah mengucapkannya. Hanya yang berjiwa besar yang mampu memaafkan. Seringkali orang bilang telah memaafkan tetapi dalam hati masih menyimpan dendam. Semoga kita senantiasa mau belajar untuk memaafkan 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here