Pengantar Redaksi.
Belum lama ini, Pemerintah RI menerima kunjungan tamu istimewa dari Mesir yakni Imam Besar al-Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb. Karena menjadi tamu negara dan datang mengunjungi Indonesia atas undangan resmi pemerintah, maka Presiden Joko Widodo berkenan menerima beliau di Istana Negara, Senin tanggal 22 Februari 016.
Ikut mendampingi Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb ini adalah beberapa orang penting dari Mesir. Dari pihak Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan tertutup itu adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Menlu AM Fachir dan Prof. Alwi Shihab, mantan Menlu RI era pemerintahan President Abdurrahman Wahid (1999-2001) yang kini menjadi penasehat khusus Presiden mengenai masalah Timur Tengah.
Usai pertemuan di Istana tersebut, kepada media Prof. Alwi Shihab mengatakan harapan Pemerintah Indonesia agar Imam Besar al Alzhar bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat muslim Indonesia. Utamanya, jangan sampai tergoda ikut gerakan radidal dan terlibat terorisme.
Wapres Jusuf Kalla yang menerima kunjungan Imam Besar al Azhar dalam seremoni jamuan makan malam juga ikut menegaskan, kunjungan ini untuk mempererat kerja sama antara Indonesia dan Mesir dalam bidang keagamaan dan pendidikan, mengingat di Universitas al Azhar Kairo, tercatat ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas ternama ini.
Untuk mengetahui lebih jauh perihal makna kunjungan Imam Besar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb yang pernah menjadi Rektor Universitas al Azhar tersebut, Redaksi mewawancari beberapa sumber untuk mendapatkan pencerahan.
Berikut ini cuplikan hasil wawancara kami dengan tiga nara sumber.
————————–
Dr. Ali Munhanif, Dosen FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangsel
Tanya: Apa konteks historis dan politis kunjungan beliau ini ke Indonesia? Objektif-nya apa? Mengapa Indonesia dianggap penting untuk beliau kunjungi?
Jawab: Indonesia mempunyai arti penting bagi para pemuka-pemuka agama di Dunia Islam. Apalagi untuk institusi agama sebesar al Azhar. Secara historis, kunjungan dari Grand Syaikh al Azhar semacam ini, seperti Muhammad al Thayib, bukanlah yang pertama kali terjadi. Tokoh yang menjabat Syaikh Azhar sebelumnya yakni Muhammad Tantawi juga pernah mengunjungi Indonesia sekitar tahun 2006.
Salah satu alasannya barangkali Indonesia merupakan salah satu negara pengirim mahasiswa dengan jumlah terbesar ke Universitas al Azhar di segala tingkatan. Begitu juga hubungan ulama Indonesia dengan al Azhar sudah terjalin erat sejak awal abad ke-20.
Hubungan dekat ini tidak berarti mudah untuk diartikan secara politis.
Posisi Syeikh Azhar memang mempunyai makna politis di Mesir, khususnya dalam perannya menjadi Musfti Nasional bagi Pemerintah Mesir. Otoritasnya sangat didengarkan oleh semua rezim yang berkuasa di Mesir. Sehingga bagi umat Islam Mesir, Syeikh Azhar menjadi pemangku otoritas tertinggi dalam penyelesaian masalah agama di negara itu.
Tetapi di negara-negara Muslim yang lain, Syeikh Azhar memposisikan diri sebagai salah satu rujukan saja bagi penyelesaian hukum. Ini terjadi khususnya jika sebuah negara sedang dilanda perdebatan-perdebatan keagamaan. Misalnya dalam konteks merespon perdebatan tentang Syiah, biasanya Syeikh Azhar memberi semacam pandangan tentang masalah itu kepada umat Islam lain sehingga masalah pertentangan Sunni-Syiah bisa dirujuk ke dalam pandangan itu.
Hanya saja, kunjungan kali ini tidak selalu mempunyai arti politis. Sangat kebetulan saja, kunjungan yang sudah lama dijadwalkan itu bertepatan dengan isu-isu masalah agama di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya debat panas mengenai LGBT.
T: Sejauh mana ketokohan beliau di panggung dunia islam internasional?
J: Syeikh Azhar mempunyai posisi yang strategis dalam mengarahkan pemikiran keagamaan modern di kalangan umat Islam di dunia. Meskipun tidak menempati posisi sentral sebagai pemangku otoritas agama seperti dalam Mazhab Syiah, Syeikh Azhar sangat dihormati karena otoritas keilmuannya.
Sudah pasti Syaikh Azhar mewakili keulamaan Mazhab Sunni. Tetapi dalam sejarahnya seorang syeikh bisa datang dari salah satu empat mazhab Sunni yang berbeda-beda: Maliki, Hanafi, Syafi’i atau Hambali. Dalam sejarahnya sejak abad ke-16, syeikh yang berlatar belakang Hanafi dan Syafi’i mendominasi kepemimpinan Azhar. Hanya beberapa orang saja yang berasal dari Hanbali.
Nah otoritas keilmuannya itulah yang menjadikan Syeikh Azhar menjadi sangat penting bagi pemikiran keagamaan di Dunia Islam, termasuk Indonesia. Tetapi karena otoritas tadi tidak mengikat secara hukum, ya pemikian Syeikh Azhar biasanya dirujuk oleh ulama kita sesuai dengan keperluan untuk menjadi pembanding dalam penyelesaian masalah hukum. Tidak sepenuhnya menjadi rujukan hukum. Ulama-ulama kita biasanya lebih mendasarkan pada kitab-kita klasik yang memang menjadi bahan kajian di institusi-institusi pendidikan penting di tanah air.
T: Dampak kunjungan beliau bagi Indonesia dan Mesir ke depan bagaimana?
J: Dampak kunjungannya sangat strategis. Konteks politik Dunia Islam saat ini menjadi alasan untuk dipertimbangkan, yakni meningkatnya sektarianisme masyarakat Islam dalam hal konflik Sunni-Syiah. Dalam sejarahnya, Azhar selalu bersikap moderat dalam merespon masalah Syiah. Tidak sampai menjatuhkan kesimpulan hukum bahwa Syiah itu sesat. Tapi tetap saja berusaha sekuat mungkin untuk menjaga pandangan mayoritas umat, bahwa mazhab Sunni lah yang mendekati apa yang digariskan al Quran dan Sunnah Nabi.
Di sini, meskipun posisi Syeikh Azhar ingin menjaga objektivitasnya berhadapan dengan tantangan mendamaikan Sunni-Syiah, pada tingkat tertentu pandangan Azhar dipengaruhi kepentingan ke-Sunni-annya. Nah bahkan, dalam hal membendung supremasi politik dan kebudayaan negara-negara yang ditengarai memprogandakan Syiah seperti Iran dan Suriah, Syeikh Azhar tidak jarang bekerjasama dengan Pemerintah Mesir untuk membendung pengaruh Syiah di negara-negara Islam, khususnya Mesir.
Konteks politik internasional inilah yang saya kira menjadikan Indonesia sangat strategis bagi Azhar untuk menjaga dominasi Sunni. Dengan penduduk Muslim yang berjuml;ah 200 juta lebih, Indonesia diharapkan menjadi sebuah bangsa yang bisa mempertahankan persatuan umat Islam dan membendung perseteruan lama antara Sunni-Syiah, tetapi tetap berada dalam pemahaman mazhab Sunni. Kemampuan untuk menjaga kesalingpahaman inilah yang seringkali dimainkan oleh Syeikh Azhar di Dunia Islam kontemporer.
Kecuali dalam menyikapi berkembangan pemikian-pemikiran agama yang berorientasi liberal. Sudah pasti dalam hal ini, Syeikh Azhar sangat tegas berlawanan dengan pemikiran liberal.
Setahu saya, dalam beberapa kali percakapan dengan dosen Azhar, saya mempunyai kesan bahwa ulama Azhar sangat khawatir bahwa kehidupan agama di Indonesia terancam dengan maraknya pemikiran-pemikiran agama yang berorientasi liberal. Kasus terakhir barangkali bisa dilihat dalam konteks LGBT. Ulama Azhar bersikap keras bahwa Islam tidak membuka pintu sedikit pun untuk perkawinan sejenis.
T: Efeknya apa kunjungan beliau bagi dunia Islam di Indonesia?
J: Sejauh yang saya amati, posisi Azhar sebagai lembaga terpenting bahkan paling berwibawa dalam reproduksi ulama di Dunia Islam menjadikan kunjungan Syeikh Muhammad Thayyib ini efektif dalam membangun kesepahaman dalam kebudayaan dan keagamaan. Hampir institusi agama di Tanahair tidak luput dari kunjungannya. Kemenag, MUI, NU, Muhammadiyah, UIN Jakarta dan Malang, pertemuan dengan Wapres dll.
Semua itu memperlihatkan bahwa kunjungan kali ini sangat efektif guna menunjukan institusi keagmaan Islam masih penting dalam menjaga kepentingan Islam di Indonesia modern. Tidak harus berarti agama terlibat dalam kebijakan publik secara langsung, tetapi arahan dan otoritas agama tampaknya akan masih mendominasi kehidupan masyakat Indonesia, setidaknya dalam hal menghadapi serbuan sisi-sisi negatif dari modernitas.
Prof. Dr. Qasim Mathar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar
J: (Beberapa pertanyaan sama di atas dijawab langsung dalam satu rangkaian kalimat)
Imam Besar al-Azhar biasa juga disebut Syaikhul Azhar. Konteks historis politik kurang lebih sama seperti kata Mukhlis Hanafi, Sekjen Asosiasi Alumni Azhar Indonesia-Mesir (Ref: Tempo, English edition.
Mesir adalah negara pertama yang segera mengakui kemerdekaan Indonesia. Juga hubungan Indonesia sejak itu amat bersahabat. Banyak mahasiswa Indonesia studi di al-Azhar, selain terjalin persahabatan Presiden Soekarno dan Presiden Gamal Abdel Nasser (Mesir) sebagai inisiator berdirinya Negara Non Blok dan pemimpin Asia-Afrika.
Setahu saya, Imam Besar al-Azhar itu amat disegani dan dihormati oleh dunia Islam. Itu juga karena kedudukan beliau sangat terhormat itu disegani oleh Pemerintah Mesir. Berbeda dengan kelompok Ikhwanul Muslimin, yang sering kali diawasi betul oleh pemerintah.
Sementara, al-Azhar biasa membantu Pemerintah Mesir, ketika pemerintah dalam kesulitan. Syaikhul Azhar dan civitas academica-nya dikenal berpaham Islam moderat. Bahkan beliau dikenal mengritik Arab Saudi yang bersikap anti dan memusuhi umat Muslim Syiah.
Kalau beliau berkunjung ke Indonesia, bukan saja karena persahabatan yang sudah lama, melainkan juga karena ummat Muslim Indonesia masih yang terbesar di dunia.
Saya juga mengira, karena beliau tahu, Indonesia masih sering terganggu oleh kelompok Islam yang berpaham keras; paham yang tidak sejalan dengan pemahaman Islam yang dikembangkan pada studi-studi Islam di Universitas Al-Azhar di Kairo. Hal ini saya rasakan dalam pergaulan dengan kawan-kawan alumni Al-Azhar di sini.
Tentu, sebagai warga Indonesia, kita berharap kunjungan tersebut tidak sebatas semakin mempererat hubungan persahabatan antara Muslim Indonesia. Tetapi lebih dari itu, terjalin kerja sama yang kuat kedua negara yang sering terganggu oleh tindakan radikalisme agama. Bahkan, saling pengertian yang semakin baik antara kedua negara yang sama-sama sedang menata diri karena terjadinya reformasi.
Salam, M. Qasim Mathar
Alex S. Wijoyo, Doktor studi Islam
T: Seberapa besar ketokohan beliau di panggung Islam internasiona? Pengaruhnya seperti apa?
J: Universitas al-Azhar adalah universitas yang amat tua dalam arti positif yakni merupakan kiblat bagi kaum intelektual Muslim (ulama) dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Khususnya sejak akhir abad ke-19, peran al-Azhar lebih menonjol lagi, karena Kairo sekaligus menjadi sumber buku-buku agama Islam, karena dipakainya mesin-mesing cetak.
Sedikit banyak eclipsed posisi Mekka. Bisa dibandingkan dengan “Roma”-nya intelektual Islam Sunni. Saingan beratnya tentu saja Qum di Iran, untuk Islam Shi’ah.
Grand Shaykh Al-Azhar tentu saja mempunyai peran, posisi, dan prestise yang amat tinggi.
T: Konteks sosial politik yang mendorong beliau berkunjung ke Indonesia? Dampaknya bagi hubungan bilaterial pemerintah Indonesia-Mesir dan Islam Indonesia-Mesir?
J: Saya tidak tahu persis konteksnya. Dugaan saya, kunjungan ini ada hubungannya dengan kunjungan Presiden Mesir yang lalu, Jenderal Sisi, yang melihat perlunya renovasi dalam Islam. Presiden Mesir Jenderal al Sisi memang mengharapkan al-Azhar memperbaharui kurikulumnya dan menjadi driving force bagi renovasi dan reformasi Islam dalam bidang ajaran-ajarannya.
Caveat: Bisa juga kunjungan ini ditujukan untuk menguatkan peran Sunni yang semakin banyak mendapat ancaman dan saingan dari kaum Shi’ah, dengan perkembangan di Timur Tengah (Syria-Iraq) dimana peran Iran dan Iraq, yang notabene adalah Shi’ah semakin kuat.
T: Dampaknya bagi Gereja Katolik RI?
J: Saya tidak melihat hubungan dan dampaknya bagi Gereja Katolik. Selain, ada baiknya kalau trend renovasi di dalam Islam itu didukung.
Kredit foto: Presiden Joko Widodo menyambut hangat Imam Besar al Azhar Mesir Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb di Istana Negara, Senin tanggal 21 Februari 2016. (Courtesy of Gatra.net)