Memandang Cahaya

0
73 views
Ilustrasi (Ist)

KALA matahari pagi memancarkan sinar selembut sutera, Galadriel menyendiri, duduk di atas batu sebesar lembu. Membelakangi sekawanan teman yang bermain di seberang sungai kecil berair jernih, tangannya melipat kertas putih tanpa noda, dalam kebisuan.

“Sudah jadi, Galadriel? Ayo, hanyutkan, supaya kita bisa main bersama,” seru kawan-kawan dari balik bebatuan.

Tanpa suara, kaki-kaki mungilnya melangkah ke anak sungai yang mengalirkan air sejernih kristal. Kedua telapak tangannya dibuka, membiarkan lipatan kertas meluncur di atas aliran air bergelombang.

Tetiba, puk! puuk! puuuk! puuuuk! Butir-butir batu meluncur dari tangan teman-teman Galadriel mengarah ke perahu kertas. “Jangan!” teriaknya dalam kesia-siaan.

Tetapi, lihat. Tak satu batu pun kena pada perahu yang sedang mengembangkan kepala, ekor dan sayapnya. Hingga penuh membentuk angsa dengan kepala mendongak, menatatap cahaya matahari pagi.

Tiba-tiba, sekeping batu tepat meluncur di badan perahu. Seketika tenggelamlah perahu kertas ke dasar sungai yang gelap, seolah masuk ke dalam kegelapan yang paling gelap.

Galadriel segera menyerang si pelempar yang nakal dan iseng. Saat tangannya hendak memukul muka temannya, sebuah pukulan terakhir, saudaranya melarang. Dan mengajaknya beristirahat, menjauh dari kawannya bermain.

“Mengapa batu tenggelam tetapi perahumu tidak?” tanya Finrod.

Batu selalu tenggelam karena ia tertarik dan hanya memandang ke bawah. Ia hanya memandang kegelapan yang tak bertepi, tempat kertak gigi dan ratap tangis.

Perahu mengapung, menari di antara gelombang pasang. Ia memandang cahaya. “Bagaimana aku mengikuti cahaya di angkasa atau yang dipancarkan di dalam air?” tanya Galadriel.

Finrod menjawab dengan berbisik di telinga adiknya. Mungkin katanya, “Ikuti dia. Cahaya itu telah datang di hatimu.”

Cahaya itu datang dan bercahaya dalam kegelapan. Lux venit et lucet in tenebris.

25.12.2023. bm-1982. ac eko wahyono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here