BEBERAPA waktu lagi saat pagi, saya amprokan dengan teman lama yang sudah belasan tahun tak jumpa.
Namanya Bien Subiantoro, bankir handal yang namanya dulu sering menghiasi media massa nasional.
Sayang, satu-satunya permintaannya tak bisa saya penuhi.
“Sus, kapan menulis hiruk pikuk Piala Dunia U-20?”
Persepakbolaan dunia, apalagi tetek-bengek politik dan intriknya, tak saya kuasai. Saya menyerah.
Namun, sore ini, terpikir satu hal menarik untuk dikupas. Perspektif yang mungkin bisa menjadi lesson learnt bagi saya dan banyak orang.
Temanya “Sepak bola dan perdamaian dunia”.
Benarkah olahraga pada umumnya dan sepak bola khususnya bisa membangun perdamaian dunia? Kalau ya, bagaimana caranya? Atau, adakah cara selain sepak bola?.
Tiba-tiba saya teringat sebuah video pendek (Nas Daily Video) tentang usaha mulia untuk membangun perdamaian (dunia).
Menjadi super istimewa, karena ini terjadi di Israel. Negara mungil yang barusan ditolak main di Piala Dunia U20 dan menyebabkan Indonesia dicoret sebagai tuan rumah penyelenggara.
Begini ceritanya.
Alkisah, pada tahun 1997 ada sekelompok orang yang ingin memperbaiki suasana keberagaman di masyarakat Israel. Salah satu co founder-nya adalah Leo Gordon.
Gordon dan kawan-kawan mempunyai ide yang dianggap nyleneh. Mereka (akan) membangun sekolah dengan sistem yang sama sekali berbeda dibanding yang kala itu berlaku umum di sana.
Sistem yang semula menyekat sekolah menjadi tiga, yaitu relijius Yahudi, relijius Arab dan non Yahudi-Arab, dibongkarnya.
Dibangunnya sekolah yang terbuka untuk anak didik berbangsa dan beragama apa pun secara campur. Itulah mengapa sekolah ini, dinamakan Sekolah “Hand in Hand” (Sekolah Bergandengan Tangan).
Misinya membangun inklusivitas dan kesetaraan antar warga Arab Israel dan Yahudi Israel melalui sekolah dan mengembangkan komunitas dwibahasa yang egaliter. Bahasa Arab dan Bahasa Ibrani menjadi pelajaran wajib bagi semua murid, tentunya selain Inggris.
Pada saat dibuka, sekolah hanya mengasuh 50 anak. Saat ini lebih dari 2.000 siswa terdaftar di enam sekolah. Terutama konsentrasi untuk menghapus ancaman terbesar negara itu, yaitu tumbuhnya keterasingan sosial dan kurangnya kepercayaan antara warga Yahudi dan Arab di Israel. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah ini. (https://www.handinhandk12.org/about/)
Mereka adalah perintis kehidupan bersama, membina generasi baru Arab dan Yahudi yang siap untuk hidup berdampingan, sebagai mitra dan sahabat, sesama warga negara Israel.
Kurikulumnya didasarkan pada nilai-nilai yang mencerminkan budaya dan bahasa, berorientasi pada multikulturalisme dan kewarganegaraan bersama dan setara.
Tidak hanya pemerintah, masyarakat dan LSM mendukung keberadaan dan kelangsungan “Hand in Hand” habis-habisan.
Tak heran, pada tahun ajaran 2022-2023, sekolah sudah tersebar di kota-kota Yerusalem, Galilea, Wadi Ara, Tel Aviv-Jaffa, Haifa, dan Kfar Saba, dan mendidik lebih dari 2.000 siswa.
Tahun ini, ratusan siswa harus masuk dalam daftar tunggu. Sementara komunitas baru telah terbentuk di seluruh negeri.
“Bergandengan Tangan” terus membuktikan bahwa hidup bersama itu mungkin, itu nyata, dan itu terjadi di seluruh Israel sekarang.
Menyimak kisah tentang sekolah “Bergandengan Tangan”, tiba-tiba rasa malu menyergap diri saya. Eksklusivitas dan praktik pecah belah marak terjadi di negara kita, yang konon mempunyai cita-cita membangun perdamaian dunia.
Alih-alih menyatukan dua pihak yang konflik seperti Leo Gordon dan kawan-kawan, ini malah menolak kehadiran tamu sah dan berhak untuk ikut dalam sebuah ajang olahraga yang bertujuan membangun perdamaian dunia. Ironis.
Sekolah “Bergandengan Tangan” mengajarkan bahwa kebencian dan permusuhan tak bisa dihapus dengan kebencian dan permusuhan yang lain.
Tak juga bisa dilakukan dengan menyeragamkan perbedaan, karena “Keanekaragaman adalah salah satu sumber energi”.
Perbedaan adalah memperkaya. Menutup diri dengan rasa permusuhan tak akan membuat yang ditutup rugi, justru yang menutup akan mengalami keterasingan.
Menyeragamkan adalah membunuh perbedaan, dus mendegradasi level energi menjadi rendah. Perbedaan yang inklusif tidak hanya membuat kelompok menjadi “hidup”, tapi juga lebih awet dan tahan banting.
“Kita” lebih kuat dibanding “kami”.
Toleransi membuat “kita” lebih bermakna dan bermartabat. Menolak pihak lain yang tak berkehendak jahat adalah cara kuno karena malah bisa membunuh diri sendiri.
Inklusif adalah merayakan perbedaan, mengucapkan “selamat datang” kepada semua orang, karena kasih adalah inklusif, bukan eksklusif.
“All are welcome. Love is inclusive, not exclusive.” (Paus Fransiskus)
@pmsusbandono
4 April 2023
PS: Moga-moga tulisan ini bisa menjawab permintaan Bien.
Baca juga: Saya Juga Suka Pamer