BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN
Sabtu, 18 Desember 2021.
Tema: Ketulusan hidup.
Bacaan
- Yer. 23: 5-8.
- Mat. 1: 18-24.
KETULUSAN. Sebuah energi positif dalam diri. Ia mampu menyerap segala sesuatu yang datang dari luar dirinya. Ia terbuka bagi yang lain.
Ketulusan melatih diri akan kepalsuan. Ketulusan menyadarkan segala sesuatu sifatnya sementara.
Ada batasnya. Semuanya akan berlalu. Nothing to lose.
Ketulusan menyadarkan segala sesuatu mempunyai tujuan pasti. Menjadi berkat dan terkait dengan yang lain.
Dengan bekerja keras ia dapat memiliki sesuatu. Dengan hati yang tulus ia menyalurkan berkat bagi yang lain.
Hidup itu jembatan rahmat. Seperlu dan secukupnya, itulah pertimbangannya.
Jalan hidup itu ringan, riang dan bebas. Ia tidak menggenggam hidup bagi akunya sendiri. Ia menikmati hidup dengan kebebasan.
Dengan ketulusan keluarga dapat hidup tenang, sederhana, kaya makna. Ia tahu, sulit dan susahnya bekerja keras. Tidak mudah memiliki sesuatu.
Tapi tidak pula ingin menggenggam yang didapat. Memberi dengan tulus menjaga hati tetap riang gembira.
Hati yang tulus adalah pintu hidup damai.
“Om apa kabar? Gembira sekali olahraga bersama keluarga,” sapaku.
“Ya beginilah Romo. Saling dekat dan mengerti satu sama lain.”
“Oh, begitu ya?”
“Dengan berolahraga bersama, kami dapat memahami satu sama lain. Mengerti apa yang mereka alami.
Sarana kami menerima kekuatan sekaligus kelemahan mereka; sekaligus kegundahan anak-anak.
Kami tidak selalu melakukan hal yang sama. Ada banyak sarana olahraga bersama. Kami ini membuat kebersamaan itu sesuatu yang menggembirakan. Kami mengalihkan energi negatif, emosi yang merusak dengan berolahraga. Sarana melatih emosi dan menjaga hati.
Tentu kami ingin hidup sehat. Kami pendukung makanan pro life. Tapi tidak termasuk vegetarian ketat.
Mampirlah ke rumah. Kami pasti senang dikunjungi. Kami sekeluarga bisa berkumpul, berbincang sambil menikmati apa yang ada.”
Rumahnya tidak terlampau besar. Tidak ada ruang tamu. Ruang keluarga tertata baik. Setiap tamu diterima langsung di ruang keluarga. Dari situ langsung menuju taman belakang yang dipelihara dengan asri. Tertata tanaman yang berbunga dan beberapa pohon rindang.
Ada kicauan burung yang menggoda. Mereka memelihara beberapa jenis burung berkicau. Meletakkan di bawah pohon rindang.
“Wah … menyejukkan dan keren,” kataku spontan.
“Terima kasih kesannya Mo. Biasa aja sih. Tidak ada gagasan yang aneh-aneh. Saya bersama pasangan sejak awal sudah sepakat. Rumah adalah tempat tinggal bersama yang menumbuhkan .
Mesti ada kenyamanan dan rasa aman. Kami menerapkan pandangan ini bersama. Melatih anak untuk berkembang-tumbuh dalam visi yang sana. Keluarga adalah tempat untuk bertumbuh sekaligus tempat berdoa bersama.”
“Kesannya rapi, sederhana. Tidak banyak menyimpan banyak perkakas rumahtangga. Juga barang-barang di dapur.
Kami memutuskan rumah itu bukan tempat menyimpan barang. Bukan gudang pula. Kami hanya membeli barang yang kami pakai. Secukupnya dan seperlunya.”
“Misalnya?”
“Wajan! Kami hanya punya satu. Kalau ingin membeli yang baru, yang lama kami kami berikan kepada orang lain. Soal peralatan makan pun kami secukupnya. Bila ada tamu, kami pakai pincuk. Tinggal mengambil daun pisang.
Kami menghendaki rumahtangga kami sebagai tempat bertumbuh setiap pribadi Kami. Tentu sesuai dengan bakat dan berkat kodratinya.
Kami tidak memaksa anak-anak karena keinginan kami. Mereka dilatih memutuskan. Setiap pribadi mengambil bagian menjaga rumah sebagai tempat pertumbuhan yang aman dan nyaman.
Kami menghindari ribut. Syukurlah, kami dapat menyadari dan melatihnya. Saya dan isteri sudah sepakat. Anak-anak dilatih menghidupinya.
Kami tidak ingin ada air mata sedih dan luka. Janggal ya? Sebelum tidur malam, kami berbagi perasaan dan berdoa bersama. Kami memutuskan rantai “broken home“.
Kami memulai dengan ketulusan. Semoga pengalaman pahit tidak terjadi di keluarga kami. Doain ya.
Injil mencatat, “Yusuf seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum.” ay 19a.
Tuhan, berkati dan sertai keluarga kami, ya. Amin.