PADA tahun 2010, Kongregasi Misi (CM) Indonesia dalam pertemuan setiap lima tahun sekali berhasil mendesain program bersama.
Salah satunya adalah program bernama creative fidelity to the mission atau kesetiaan kreatif untuk bermisi. Artinya, setiap imam anggota Kongregasi CM diajak berkreasi dalam berkarya di luar karya pastoral yang telah ada.
Dengan penetapan program tersebut, maka Romo Markus Marcelinus Hardo Iswanto CM yang akrab dipanggil dengan Romo Hardo lalu memantapkan tekad hatinya. Ingin melakukan karya pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kegiatan ini telah dia tekuni sejak tahun 2007. Lokasinya di desa.
Kegiatan ini dilakukan sebagai sarana untuk menghayati semangat Vincentian. Karya ini tentu saja sifatnya “sampingan”. Karena karya utamanya justru mengampu tugas pastoral paroki. Ini dilakukan dengan semangat peduli pada yang miskin.
Juga dilandasi keinginan untuk:
- Miliki pengalaman hidup di masyarakat desa dan menjadi orang desa yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Umumnya juga orang-orang sederhana. CM harus membumi dan bercermin dengan kaum miskin papa, mengenal Kristus melalui pribadi dan wajah orang miskin.
- Membantu mereka keluar dari kemiskinan. Dengan mencari sumber-sumber akar kemiskinan. Kira-kira pola pikir, pola hidup apa yang bisa merubah atau memangkas akar kemiskinan itu. Mencari di mana sumbernya. Apakah itu gaya hidup? Misalnya, ketika terjadi panen besar, maka kecenderungan orang desa menjadi terlalu konsumptif dengan membeli sesuatu yang tidak mereka perlukan.
- Melakukan pertobatan dan penyadaran akan hal ini. Mengolah lahan pertanian dengan menggunakan bahan kimia itu berakibat merusak lingkungan. Dengan memberi contoh melakukan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Praktik bertani ramah lingkungan
Pertanian dengan ramah lingkungan ini didasarkan prinsip iman untuk menyelamatkan bumi – tempat kita berpijak bersama.
Inti ajaran Yesus itu menyelamatkan, maka kalau bertani ya harus juga menyelamatkan bumi. Jangan membunuh atau malah meracuni bumi.
Pertanian yang menggunakan racun -katakanlah pestisida- maka hal itu berarti membunuh tanah dan alam. Pada akhirnya meracuni seluruh proses pertanian tersebut.
Kemudian secara otomatis, hal itu juga akan membuat semua tanaman terkontaminasi. Pada akhirnya, manusialah yang sebenarnya berperan “telah” menciptakan berbagai penyakit di lingkungan.
Menciptakan penyakit pada orang-orang yang telah mengkonsumsi produk makanan berkontaminasi racun.
Demikianlah seterusnya.
Dengan terjun secara langsung di masyarakat desa, maka ketika berkotbah atau mengajar, jangan sampai pastor merasa diri paling tahu. Kemudian malah menggurui. Terutama ketika bicara tentang pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengalaman menjadi “orang desa”
Untuk menghilangkan kesan tersebut, ada baiknya pastor punya pengalaman menjadi orang desa. Meskipun ketika baru mulai, hal itu bisa jadi dianggap konyol: “Pak kok mboten dipupuk?”
Alam pikir orang desa mungkin seperti ini. Bertani itu ya harus menggunakan pupuk hasil pabrikan. Kalau pakai yang alami dan organik malah dianggap kuno dan sudah tidak njamani lagi.
Mereka tidak sadar bahwa semua produk pestisida itu sifatnya meracuni lingkungan dan petani sendiri. Sering kali terjadi peristiwa petani menyemprot pestisida sambil merokok. Akhirnya terkontaminasi, pingsan dan meninggal.
Benar bahwa pupuk pestisida itu memudahkan petani merawat sawah dan kebun. Namun di situ banyak kehidupan hayati mati.
Menjadi petani organik
Pengalaman sedikit berbeda juga dilakoni oleh Sr. Alfonsa Triatmi PMY, yang saat itu menjabat Provinsial Kongregasi Suster-suster Puteri Maria Yosef (PMY) Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya, Sr. Alfonsa PMY berkarya sebagai perawat di BKIA Adidharma di Desa Grugu, Kabupaten Wonosobo.
Tahun 1996, Sr. Alfonsa PMY mulai aktif mendampingi petani dengan model bertani “gaya baru”. Yakni menerapkan metode bertani ramah lingkungan.
Praktik ini dilakoni atas dasar Konstitusi Kongregasi PMY. Juga atas dasar semangat Vincentian yang secara garis besar ingin berpihak pada kaum lemah papa miskin.
Hal ini sangat dipahami oleh Sr. Alfonsa PMY. Karena itu, pelayanan di desa itu bukan lagi hanya berkegiatan merawat orang-orang sakit dan kemasyarakatan. Tetapi juga “merawat” kaum miskin papa dan bumi – tempat semua orang hidup dan berpijak.
Dengan arti luas yaitu tekad harus melestarikan alam.
Caranya dilakukan dengan mendampingi petani dan pemberdayaan perempuan. Melalui praktik pertanian ramah lingkungan.
Pendampingan petani itu sendiri jelas merupakan hal baru bagi Sr. Alfonsa PMY. Apalagi harus mampu mengajak warga desa bertani ramah lingkungan yang berkelanjutan. Tentu tekad baik ini akan sulit dilaksanakan.
Sr. Alfonsa PMY memulai program pendampingan pertanian organik itu dengan pertama-tama mengajak petani yang mau belajar pertanian ramah lingkungan. Untuk menambah ilmu dan praktik bertani ramah lingkungan, Sr. Alfonsa PMY lalu mengikutkan beberapa petani ikut serta dalam program pelatihan di Kursus Pertanian Taman Tani (KPPT) Salatiga, lembaga pendidikan milik Yesuit.
Lalu mengirim mereka belajar ilmu bertani di Akademi Farming di Bandungan, Ambarawa. Ikut melibatkan diri dan para petani itu pada Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan, event Hari Pangan Sedunia di Yogyakarta.
Setelah belajar, Sr. Alfonsa mulai praktik menanam sayur di halaman kosong BKIA Adidharma. Dengan memberi contoh prakti bertani di lahan kecil dan hasil bagus serta dibantu pemasaran di Wonosobo, maka banyak petani di Desa Grugu lalu ingin mencontoh.
Dari sini muncul Kelompok Tani Lestari yang menerapkan pertanian ramah lingkungan. Di waktu hampir bersamaan juga dilakukan hal sama di Desa Buntu dan Desa Wates.
“Awal dari pertanian ramah lingkungan yang dipraktikkan warga petani Desa Grugu sebagai berikut. Beberapa petani muda sudah pernah ikut program kursus kilat di KPTT Salatiga. Bahkan sudah ada satu petani yang ikut kursus di KPTT selama satu tahun,” terang Sr. Alfonsa PMY kepada penulis.
“Lalu dalam sebuah sesi pertemuan dengan beberapa tarekat religius di Kemah Gede Pacet, kami diajak merefleksikan atas praktik karya-karya kami bagi mereka yang masuk kategori KLM (kecil, lemah, dan miskin). Waktu itu, kami menerima saran untuk mengarahkan orientasi model bertani di kalangan para petani yang pernah kursus di KPTT ke model pertanian organik dan itu tentu saja bersifat ramah lingkungan,” paparnya.
Di kemudian hari, Sr. Alfonsa PMY belajar System of Rice Intensification (SRI) untuk pertanian padi ramah lingkungan. Konsep bertani ramah lingkungan ini kemudian diterapkan oleh par petani padi dampingan Komunitas PMY di Purworejo dan Klaten.
“Lalu kami mengajak mereka belajar ke Sekolah Farming di Bandungan dan mengikuti program SPTN-HPS di Yogyakarta. Untuk daerah Wonosobo -termasuk Desa Wates dan Buntu- mereka kami imbau mulai budidaya sayur-sayuran dan membantu mereka pemasarannya. Untuk wilayah Purworejo, sejumlah petani diajak ke SPTN-HPS dan diimbau mau membudidayakan padi organik. Itu berjalan baik di Wonosobo dan Purworejo, karena didampingi oleh SPTN-HPS,” jelas Sr. Alfonsa PMY.
Khusus di Purworejo tahun 2003 lalu, tambahnya, “Kami mengajak petani mengikuti tes PET-SRI (Pembelajaran Ekologi Tanah – System of Rice Intensification) di Indramayu, Jabar. Baru sesudahnya, lalu ada pelatihan untuk kelompok di Purworejo dan pengembangan selanjutnya.”
Perkembangan di Purworejo cukup bagus, karena malah bisa bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Lewat pelatihan yang melibatkan petani kami dalam Proyek SRI tahun 2010 dan sertifikasi, serta bantuan lumbung,” terangnya.
Sesudah itu, masih ada bantuan proyek dari Nederland selama enam tahun. Namun, sesudah itu diharapkan kelompok-kelompok itu bisa mandiri.
Membumikan “Laudato Si’” di lahan pertanian
Tahun 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si.
Romo Hardo CM merasa enskilik ini memperbahuri karya pastoral ekologinya yang pada awalnya remang-remang. Romo juga merasa diperkaya kaitan praktik pastoral ekologi dengan pemahaman iman dan spritualitas ajaran Gereja tentang ekologi.
Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus menggali sangat dalam semangat mencintai dan merawat bumi. Menganalisis kebutuhan mencintai lingkungan dengan sumber-sumber biblis.
Antara lain bahwa bumi itu merupakan “tempat hidup bersama” dan Tuhan berkarya atas bumi. Lalu juga disertai fenomena tentang kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia.
Pertanyaannya, bagaimana spiritualitas Katolik itu bisa ambil bagian dalam segala upaya untuk menyelamatkan bumi? Untuk merawat bumi sebagai sumber kehidupan bersama umat manusia?
Jangan hanya sibuk di mimbar kotbah, maka juga diperlukan aksi nyata mengembalikan bumi sebagai rumah bersama. Yakni dengan ambil bagian dalam merawat dan melestarikannya.
Ini sebuah kebetulankah?
Pestisida membunuh ekosistem hayati
Sekali waktu, saya mulai mengenal sejumlah komunitas petani organik dan teman-temanynya di jaringan ekologi. Mereka ini punya semangat positif dan juga mempraktikannya dalam kegiatan gerakan menyelamatkan bumi.
Juga membela masyarakat yang menjadi korban kemajuan teknologi pertanian yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan.
Mereka yang tidak sadar bahwa ternyata praktik Bertani mereka ini semakin dijajah melalui pupuk, benih dan pestisida yang mengakibatkan punahnya eksosistem hayati.
Namun di sisi lain, pengusaha merasa menolong karena menjadikan produksi pertanian lebih cepat, tahan hama dan sebagainya.
Tapi tidak memperhitungkan dampak kedepannya.
Pengusaha ini mendapat dukungan dari otoritas pemerintah, karena punya izin produksi, membayar pajak. Bahkan bisa jadi malah menjadi rekan pemerintah dalam memberi subsidi pupuk, benih, dan obat-obatan yang diperuntukkan bagi petani.
LSM tidak rela pemerintah sampai berkoalisi dengan perusahaan yang semakin kuat. Namun sebagai imam, Romo bilang tidak boleh berpihak.
Kadang sulit juga mengambil sikap. Dilematis karena terkadang pengusahanya malah umat sendiri, petaninya pasti orang-orang kecil.
Lalu, pihak mana yang mesti dibela?
Dalam situasi yang sulit, membaca Laudato Si bisa menjadikan kita punya wawasan spiritual. Ini juga bisa menjadi sarana mengingatkan ke berbagai pihak di sisi berbeda. Apakah itu pengusaha, petani dan LSM.
Tujuannya hanya satu yakni agar masing-masing bisa menghayati lingkungan ini adalah anugerah Tuhan.
Bumi tempat kita berpijak ini harus kita rawat. Bumi menjadi tanggungjawab kita bersama. Untuk senantiasa merawatnya dan melestarikannya bagi masa depan berkelanjutan.
Hal sama disampaikan oleh Sr. Alfonsa PMY.
Ensiklik Bapa Suci Paus Fransiskus Laudato Si itu semakin meyakinkan Kongregasi PMY melakoni karya pastoral di desa-desa. Tujuannya membantu petani dan mengajak mereka untuk beralih ke pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Melalui karya pastoral tersebut, mereka bisa berbagi kasih dengan masyarakat pedesaan yang mayoritas justru “tidak sama” dengan kita.
Melalui perjumpaan sehari-hari.
Hal senada diceritakan Romo Hardo CM. Melalui pertanian ramah lingkungan, ia bisa berbagi kasih melalui hal-hal sederhana seperti berbagi benih budidaya sendiri dan membagi pupuk cacing kepada para mahasiswa yang praktik kerja lapangan.
Ketika pemerintah, pengusaha petani dan LSM, bahkan anak-anak, remaja, dewasa dan orangtua terangkul, maka karya pastoral pertanian ramah lingkungan akan menumbuhkan semangat kemandirian.
Itu persis sama dengan spirituallitas Yesus yang mengajari kita pro kehidupan. Pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan tidak hanya harus diajarkan, namun dipraktikkan.
Keberhasilan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan hanya bisa dijalankan oleh orang yang punya ketekunan, tidak mudah terpengaruh dan tidak punya ketakutan serta mempunyai passion terhadap kehidupan, sadar terhadap lingkungan, keragaman, keselamatan dan kesehatan.
PS: Artikel ini diolah berdasarkan wawancara dengan dua narsumber yakni
- Romo Markus Marcelinus Hardo Iswanto CM, sekarang berpastoral di Paroki Kristus Raja Surabaya.
- Sr. Alfonsa Triatmi PMY, sekarang sudah purna karya dan tinggal di Biara Induk PMY Indonesia di Wonosobo, Jateng.