Rabu, 11 Maret 2020, Hari Biasa Pekan Pra Paskah II
Bacaan: Matius 20:17-28
PADA awal tahun 1400-an, karena terjadi Skisma Barat, tahta Kepausan diklaim oleh dua orang berbeda.
- Paus Gregorius XII berkantor di Roma, Italia.
- Sedangkan Paus Benediktus XIII yang berkantor di Avignon, Perancis.
Masing-masing menganggap dirinya sebagai pemimpin sah, sedang lainnya dianggap sebagai pemimpin ilegal. Masing-masing kubu didukung kardinal pendukungnya.
Dalam perjalanan waktu, sejumlah kardinal di masing-masing kubu mulai merasa jengah dengan paus yang mereka dukung.
Sejumlah kardinal kubu Roma muak pada Gregorius XII yang nepotis dalam karya pastoralnya, dengan mengangkat kardinal dari kalangan keluarganya.
Padahal sebelum terpilih menjadi Paus,ia pernah berjanji pada kardinal koleganya kelak jika terpilih menjadi paus dia tidak akan mengangkat kardinal baru.
Sedang kubu Avignon muak dengan Benediktus XIII yang keras kepala tidak mengindahkan nasehat kardinal pendampingnya, sehingga ia nekad membuka hubungan diplomatik dengan Kerajaan Spanyol, padahal mayoritas kardinal pendukungnya berasal dari Perancis yang bermusuhan dengan Spanyol saat itu.
Maka Kerajaan Perancis pun menarik 17 kardinalnya dan menyisakan 5 kardinal yang masih setia pada Benediktus XIII.
Di samping itu sebagaimana Paus di Avignon sebelumnya, Paus Benediktus XIII bergaya hidup mewah bak bangsawan saja, jauh dari gambaran sejati seorang “Servus Servorum Dei”.
Kehidupan bermewah-mewah para paus di Avignon pernah dikecam William Occam.
Sementara kalangan di luar kepausan, seperti sejumlah rohaniwan dan teolog terkemuka serta bangsawan dan raja di daratan Eropa juga sudah muak dengan dualisme kepausan ini. Sehingga mereka menyusun rencana mengadakan konsili untuk mengakhiri dualisme ini.
Kota Pisa dipilih sebagai tempat acaranya.
Ternyata sejumlah kardinal dari kedua kubu tadi membelot dari kumpulan mereka masing-masing dan memutuskan ikut hadir dalam Konsili Pisa ini.
Dan terselenggaralah konsili sekitar bulan Maret hingga Juni 1409 dengan hasil keputusan:
- Meminta kepada Paus Gregorius XII dan Paus Benediktus XIII untuk mundur dari jabatan Paus.
- Mengangkat Aleksander V sebagai Paus baru guna menggantikan mereka berdua.
Kontan saja keputusan Konsili Pisa ini membuat kalap kedua paus. Mereka emoh mundur. Mereka mengecam konsili itu sebagai pertemuan ilegal sehingga pemimpin yang diangkat dalam pertemuan itu ilegal pula.
Bahkan salah satu pendukung dari kubu Roma menyebut konsili ini sebagai “kumpulan setan”.
Akhirnya, alih-alih mengakhiri dualisme kepausan, konsili ini malah memunculkan persoalan baru yaitu adanya tiga paus yang masing-masing menganggap dirinya sebagai pemimpin yang sah.
- Satu di Roma.
- Satu di Avignon.
- Satunya lagi di Pisa.
Masing-masing ngotot ogah mundur dan menyuruh yang lain mundur. Satu sama lain saling mengumpat lawannya sebagai sesat. Satu sama lain saling menjatuhkan kutuk. Maka umat di belakang masing-masing paus pun kena kutuk semuanya.
Sengketa jabatan seperti ini jauh sebelum itu pernah terjadi di kalangan murid-murid Yesus.
Cuma waktu itu sengketa seperti ini disebut dengan istilah “siapa yang terbesar diantara para murid”.
Seperti yang dikisahkan Matius dalam Injilnya yang dijadikan bacaan pada hari ini. Ibu dari Yohanes dan Yakobus menghadap Sang Guru memohon supaya kedua anaknya itu mendapat tempat istimewa di sisiNya.
Murid-murid lain yang mendengar hal ini pun tersulut amarahnya (Mat 20:24). Tentu saja mereka marah, sebab selama ini keduabelasan itu malang melintang susah senang bersama mendampingi Guru mereka mewartakan Kabar Gembira.
Ini kok tiba-tiba Yohanes dan Yakobus meminta posisi istimewa pada Sang Guru, kesannya mau seneng sendiri.
Dalam tradisi Yahudi, seorang pria menuntut ilmu agama (disebut talmidim, murid) pada seorang rabi tujuan akhirnya jika lulus bisa diangkat menjadi rabi.
Berbeda dengan Yesus.
Siapa yang dipilihNya untuk diberi pengajaran tidak dijanjikan sebuah jabatan cemerlang. Namun siapa yang dipanggilNya supaya menjadi ‘serupa dengan gambaranNya’. (Roma 8:29).
GambaranNya yang sejati nampak ketika Ia mengadakan perjamuan perpisahan dengan murid-muridNya. Ketika para murid sedang sibuk berselisih (Lukas 22:24), Ia yang adalah Guru, duduk lebih rendah daripada murid-muridNya itu.
Kemudian satu persatu kaki para muridNya dibasuh layaknya seorang budak membasuh kaki tuannya. Termasuk kaki murid yang hendak mengangkat tumitnya pada diriNya.
Paus Fransiskus dalam homili misa pagi di Casa Santa Marta, Roma, tanggal 25 Februari 2020 menandaskan:
“Siapakah yang terbesar dalam Gereja? Apakah Paus? Apakah para uskup, dewan kardinal, para imam di sebuah gereja paroki yang megah? Apakah anggota dewan paroki?
Bukan. Yang terbesar dalam Gereja adalah dia yang menyediakan dirinya sebagai pelayan bagi yang lain, bukan mereka yang memangku jabatan”.
Menutup homilinya, Paus Fransiskus di hadapan anggota Kuria Roma yang hadir dalam misa pagi itu mengimbau: Serving others, choosing the last place, not climbing the ladder.
Maka agak menggelikan bila menjumpai oknum dalam Gereja yang bertingkah sok penting hanya karena merasa dirinya sudah mengukir prestasi gerejawi, padahal dirinya tak lebih hanyalah pelayan, yang dalam aksen kasar disebut babu atau jongos.