Gereja Katolik di Belanda meminta seorang pastor usia 81 tahun untuk meninggalkan pasangannya yang atau terpaksa akan diberhentikan sebagai pastor alias jubah imamatnya dicopot. Demikian dilaporkan AFP pekan lalu.
“Kami memberi dia pilihan, meninggalkan pasangannya atau dia melepas imamatnya,” ujar juru bicara uskup Michiel Savelsbergh dari Keuskupan Den Bosch di Pusat Netherlands.
“Tentu saja kami tidak mengizinkan dia melakukan dua-duanya karena itu dilarang dalam Gereja Katolik,”kata Michiel.
Namun Romo Peijnenburg mengatakan kepada surat kabar setempat lewat seorang kawannya bahwa gereja (hirarki) sebenarnya tahu hubungannya dengan Threes van Dijck, 46 selama satu dekade berlangsung. Pihak keuskupan sendiri telah memberi ultimatum pada Romo Peijnenburg yang telah menulis brosur/ leaflet yang mengkritik perihal selibat dalam gereja katolik.
Sang pastor ini menyebutkan bahwa pilihannya sudah jelas: cinta melampaui agama. ” Secara alami saya memilih Threes. Kami sudah tinggal bersama.”
Membuat pilihan
Ketika masuk ke warung soto ya kita makan soto, mosok kita minta hamburger, atau pasta, atau steak? Kalau masuk menjadi Imam/Romo ya mesti selibat, mosok minta istri?
Suatu ketika aku naik mobil dari Jakarta ke arah Jawa Tengah dan ingin mampir ke Margasari. Saya sudah tanya-tanya jalan, arah mana yang harus diambil. Namun desa dan kota yang disebutkan adalah nama-nama yang asing. Maka saya coba gunakan GPS (Global Positioning System ) dan suatu ketika mendapat arahan untuk belok kanan.
Saya lalui jalan sesuai arahan GPS dan mendapati jalan-jalan desa yang memang indah sekali pemandangannya. Sawah terbentang indah asri dan banyak petani bercaping kecil-kecil dari keajauhan sedang bekerja dikelillingi oleh gunung-gunung yang berselimutkan langit biru, dengan awan putih memayungi pada ujung-ujungnya, ditingkah burung berterbangan diterpa angin sepoi-sepoi dingin yang menyegarkan dan rasanya ingin berlama-lama ada di situ. Maklum waktu itu masih bulan September 11, belum hujan seperti bulan November 11 ini.
Namun jalan desa ini aduh biyung (red: ibu, seruan !) amat rusak, parah, dan mengocok perut bila kendaraan melaju kencang. Maka akhirnya saya berusaha menjalankan kendaraan pelan-pelan mengikuti lekuk dan likunya, naik dan turunnya dan lubang demi lubang serta debu berterbangan mewarnai perjalanan saat berpapasan dengan truk besar yang amat mengkhawatirkan.
Apakah saya harus kembali? Tidak, saya terus saja mengikuti petunjuk GPS dan menelusuri desa ke desa mengarah ke Margasari. Jarak yang sebenarnya pendek menjadi jauh, menjadi perjalanan yang serasa tak ada akhirnya.
Akhirnya sampailah juga ke tujuan dan bernapas lega. Apakah saya menyesal? Ya boleh dikatakan demikian, namun puas rasanya. Tuan rumah menyambut dengan makanan khas, sate ayam. Namun bukan bumbu kacang atau kecap melainkan bumbu gule atau kari. Bagi saya yang belum pernah mengicipinya hidangan terasa eksotik dan maknyus.
Malam hari kami menginap di Guci, Tegal, suatu tempat istirahat yang dingin namun kolam renangnya berisi air panas yang amat panas, sehingga ketika masuk harus pelan-pelan agar tubuh menyesuaikan suhunya.
Inilah konsekuensi suatu pilihan. Pilihan jalan mana yang akan ditempuh. Mengkhawatirkan, takut mobil rusak, takut tercebur selokan atau bahkan masuk sawah, takut terserempet sepeda motor, atau truk. Namun akhirnya toh kami merasakan kenikmatan dari suatu perjalanan yang menyengsarakan, tak terlupakan.
Ignatius Sie Suhendra, pengusaha bidang agrikultural