AWALNYA hanyalah sebuah pertanyaan kritis dari Andianto, mantan novis Jesuit di Girisonta tahun 1981-1983—yang bertanya di forum milis Sesawi dengan sebuah gugatan kritis. Alumnus ITB ini dengan nakal bertanya mengenai makna referensi pada kalimat pertama dalam syahadat panjang (Credo) yang berbunyi: “Aku Percaya akan Allah Bapa yang Maha Kuasa, pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan…”
Nah, bagian awal doa Credo itulah yang membuat Andianto lalu bertanya:Mungkinkah itu sebuah pertanyaan yang mengarah pada hantu, jin, gendruwo dan sebagainya?
Lalu Onggobawono –juga mantan novis SJ dan pernah mencicipi sedikit kuliah teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Kentungan, Yogyakarta—menjawab berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari bangku kuliah. Menurut dia, Gereja tidak pernah “mengajarkan” tentang hantu. Melainkan, kata Onggo, Gereja mengakui adanya “roh-roh jahat”.
Sekali lagi, ini hanya pengetahuan Onggo dan bukan resmi “ajaran Gereja”. Menurut Onggo, rumusan Credo tentang “yang tidak kehilatan” itu tidak harus selalu mengaju pada eksistensi hantu. Andaikan hantu dan semacamnya itu benar-benar ada –dan kalau memang benar ada—maka itu berarti kuasa kegelapan alias dosa memang eksis dalam kehidupan fana ini.
“Kalau sampai ada orang yang secara empiris (berhasil) melihat penampakan hantu dan semacamnya itu, maka itu kita ingin mengartikan bahwa roh-roh itu belum ‘berdamai’ dengan Sang Pencipta,” kata Onggo.
Kuliah dari Alm. Romo Louis Leahy SJ
Kisah-kisah pengusiran roh-roh jahat sebagaimana dikenal dengan istilah “exorcism” itu memang dalam sejarah Gereja pernah dan (masih) ada. Pastur-pastur khusus dipilih Gereja dan ditugasi oleh Uskup dan atas izin Uskup boleh melakukan praktis exorcisme. “Siapa pun romo itu, dia atau mereka harus benar-benar ‘terpilih’ dan memiliki kekuatan dan semangat laku tapa yang prima disertai kesucian jiwa yang hebat,” kata Onggo mengutip pendapat almarhum Romo Prof. Louis Leahy SJ tahun 1990-an di Yogyakarta. (Bersambung)