SENIN (1/6/2020), Kepala SMP Santa Maria Banjarmasin, Sr. Aloysia Jawa Hajon SFD, SPD, mewakili Kalimantan Selatan untuk berbagi cerita dalam Diskusi Daring Memperingati Hari Lahir Pancasila.
Diskusi yang mengambil tema Pancasila dalam “Laku Pendidikan” ini diikuti 60 peserta dari seluruh Indonesia lewat aplikasi Zoom.
Selain dari Kalimantan Selatan, ada empat daerah lagi yang berbagi cerita dalam diskusi tersebut, yakni dari Lampung, Jember, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ambon.
Kelima perwakilan daerah ini –disebut Teman Belajar– berbagi tentang menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam dunia Pendidikan.
SFD eksis sejak tahun 1937
Diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru ini memilih Sr. Aloysia karena keberagaman di SMP Santa Maria Banjarmasin yang tumbuh dengan subur.
Bahkan, keberagaman itu sudah ada sejak Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina, memulai karya pendidikan di bumi Kalimantan Selatan pada tahun 1937.
Kala itu, saat Indonesia belum merdeka, Kongregasi SFD mencoba hadir untuk memberikan layanan pendidikan bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakangnya.
Sejak itu, budaya toleransi terus dipupuk, agar keberagaman yang ada tidak justru meciptakan kelompok-kelompok tertentu. Meski dalam perjalanannya hal itu tidak semudah membalik telapak tangan, tapi budaya toleransi terus diperjuangkan agar mampu memberi kehangatan bagi seluruh warga sekolah.
Ini membuat SMP Santa Maria diminta untuk berbagi cerita. Yayasan Cahaya Guru ingin agar kehangatan tersebut juga menjadi inspirasi bagi para peserta diskusi yang lain. Karena dengan toleransi yang terus dipupuk itu, seperti menggambarkan kalau nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan dalam dunia pendidikan.
Di lingkungan sekolah
Dalam ceritanya, Sr. Aloysia mengungkapkan jika sebenarnya, semangat mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam keberagaman sebetulnya sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu, sejak awal Kongregasi SFD memulai karya pendidikan.
Sejak masa perjuangan kemerdekaan itu, karya pendidikan diwujudkan dengan menerapkan nilai-nilai yang dikenal dengan karakter ke-SFD-an.
Ada tiga nilai yakni:
- Semangat yang memiliki nilai turunan: selalu bergembia, rajin dan giat, enerjik dan disiplin.
- Fraternitas, memiliki nilai turunan: cinta kasih kepada kaum papa, ramah, rasa persaudaraan, menjadi pembawa damai dan bersikap toleran.
- Dina, memiliki nilai turunan: tekun berdoa, pertobatan, hidup sederhana, rendah hati, tulus, jujur, rela berkorban, bekerja tanpa pamrih dan pengendalian diri.
Ternyata setelah Indonesia merdeka dan Pancasila menjadi dasar Negara, karakter ke-SFD-an sejalan dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Maka, benar apa yang dikatakan Bung Karno dalam satu di antara pidatonya, jika Pancasila digali dari bumi Indonesia.
SMP Santa Maria berusaha untuk terus menghayati dan mewujudkan nilai-nilai itu, dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila pada hal-hal sederhana.
“Kami coba wujudkan saja nilai-nilai itu. Pertama mereka yang masuk ke SMP Santa Maria, entah itu siswa atau guru dan karyawan, kami terima tanpa memandang dari mana dia berasal, entah itu dari sisi ekonomi, budaya atau dari agama apapun,” kata Sr. Aloysia penuh semangat.
Memang, banyak tantangan yang terjadi. Sebab tidak mudah menanamkan karakter ber-Pancasila dengan baik. Sekolah dan para guru juga harus menjadi contoh dan teladan.
Mereka yang pertama kali dilihat oleh para siswa sebagai role model.
Kini, sekolah yang terletak di Jalan Rantauan Timur I, Banjarmasin Selatan itu mencoba menghidupi nilai-nilai Pancasila dengan tindakan yang kecil dan sederhana, seperti memberi ucapan selamat hari-hari besar keagamaan, dan saling berkunjung antar warga sekolah baik di saat hari keagamaan itu atau jika ada yang sedang terkena musibah.
“Itu saja, pelan-pelan agar siswa tidak merasa terpaksa pada nilai yang ingin ditanamkan,” kata Sr. Aloysia dalam wawancara seusai diskusi.
Setelah para siswanya mulai terbiasa dengan menghargai perbedaan dalam hal yang kecil, SMP Santa Maria Banjarmasin mulai meningkatkan intensitas.
Setiap kegiatan kesiswaan, sekolah ini akan menghentikan kegiatan jika ada suara adzan berkumandang. Momen ini dipilih, karena pada saat tersebut semua warga sekolah berkumpul bersama dalam satu tempat –biasanya di aula.
Mengalami kebesamaan
Bona Ventura Bowo Kusmanto, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, yang ditemui di kesempatan lain mengungkapkan ketika semua warga sekolah berkumpul, kebersamaan dapat lebih dirasakan. Sehingga, jika ingin menanamkan nilai dan karakter tentang keberagaman dan budaya toleransi, di sanalah tempatnya.
“Biasanya itu waktu siang, pas waktu zuhur. Kami hentikan sejenak kegiatan. Adzan selesai, kami lanjut lagi,” cerita Bona Ventura.
Saat proses belajar mengajar pun, bagian kurikulum menyusun jadwal agar saat jam istirahat, warga sekolah yang beragama Islam dapat menunaikan salat zuhur dan salat Jumat. Tidak hanya dengan umat Islam, SMP Santa Maria juga sering mengikuti kegiatan lintas agama dan lintas budaya. Setiap tahun baru Imlek misalnya, akan ada pertunjukan barongsai di sekolah.
Ikut terlibat
Sekolah ini juga selalu ikut Expo Religi yang diadakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3).
LK3 mengundang komunitas lintas agama dan budaya untuk berpartisipasi dalam Expo Religi tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan untuk mengajak para siswa berinteraksi dengan berbagai lapisan.
Pada gilirannya, semakin sering berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda, akan dapat menciptakan budaya toleransi.
Semua hal tersebut terus dipupuk demi menjaga keberagaman. Siswa, guru dan karyawan SMP Santa Maria yang berasal dari berbagai latar belakang adalah alasannya.
Jika perbedaan itu tidak dipupuk dan terus dijaga, toleransi yang harusnya tumbuh mekar dapat terkikis dan hilang.