Menakar Dampak Lingkungan Fisik-Sosial akibat Penambangan Pasir Besi (2)

0
3,613 views

MARI kita sekarang bicara tentang aspek ekonomi. 

Sampai sekarang dunia industri masih memerlukan berbagai mineral logam dan non-logam untuk mendukung produk yang dibutuhkan masyarakat. Mineral yang dibutuhkan bukan hanya logam mulia (atau tidak mulia) seperti emas, perak, tembaga, timah, mangan, dan lain-lainnya; namun kita juga butuh yang non-logam seperti bentonite, feldspar, clay, ocher, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Permintaan mineral-mineral ini mengikuti pertumbuhan ekonomi pasar. Kalau ekonomi dunia lesu, maka permintaannya turun. Sebaliknya, kalau ekonomi  suatu negara naik, maka permintaannya juga naik. Sebagai contoh, sekalipun ekonomi Eropa dan Amerika Serikat dewasa ini (kurun waktu tahun 2011-2012) merosot,  tetapi kebangkitan ekonomi China dan India dengan dukungan  kebangkitan industrinya juga meningkat secara signifikan. Akibatnya, permintaan akan kebutuhan mineral logam dan non  logam serta energi juga meningkat.

Dengan cadangan moneter tinggi yang dimilikinya, China dan India banyak mengimpor mineral yang diperlukan. Bahkan kedua negara besar di Asia ini juga merambah/berinvestasi  ke seluruh dunia. Mereka juga aktif bergiat melakukan  usaha pertambangan dimana-mana, termasuk di Indonesia.

Hal ini disambut secara positif oleh banyak  pihak di berbagai daerah di Indonesia. Namun terutama terjadi di daerah-daerah yang aktivitas ekonominya rendah/tingkat pembangunannya rendah.

 Maraknya pasir besi

Didorong kebutuhan meningkatkan  aktivitas/ekonomi daerah, maka sekarang pasir besi menjadi komoditi ekspor yang beken untuk dikirim keluar dari wilayah Indonesia. Padahal, harga jualnya/nilai ekonomisnya secara komparatif lebih rendah dari pada harga jual/nilai ekonomi mineral lainnya seperti timah, tembaga, emas,dan masih banyak lagi.

 

Harga bijih besi –yakni pasir besi yang sudah diproses– berada sekitar US$170-an per ton; sementara harga timah sekitar US$20.000-an per ton.Maka bisa dimengerti kalau selama ini, penambangan pasir besi boleh dibilang kurang populer dibanding dengan penambangan timah.

Itu sampai beberapa tahun lalu, ketika penambangan pasir besi menjadi kurang berkembang, karena nilai ekonominya rendah; sementara, tingkat kerusakan lingkungan yang disebabkannya juga mencolok sekali.

Karena itu, daya ekonomi tambang pasir besi masih perlu diwaspadai. Jangan sampai pendapatan usaha tambang ini sedemikian kecil sehingga tidak mampu  membiayai biaya sosial dan ongkos lingkungan yang perlu dikeluarkan.

Efek otonomi daerah

Didorong semangat “mendapatkan aktivitas ekonomi” yang meningkat dan adanya kebebasan otonomi daerah memberikan izin pertambangan, maka di seluruh Indonesia sekarang terdapat kurang lebih 9.000-an izin pertambangan untuk berbagai jenis mineral dan batubara. Sekedar tahu saja, pada tahun 2000 yang lalu, jumlahnya masih bisa dibilang ratusan saja.

Cukup banyak pengusaha nakal yang pada dasarnya bukan penambang, melainkan calo izin pertambangan atau calo tanah untuk tambang. Mereka inilah yang merusak citra pengusaha tambang yang serius ingin menambang.

Akibat  kondisi di atas banyak  petugas di instansi pemerintah yang tidak lagi memegang  Prinsip Pembangunan Berkelanjutan; bahkan tidak lagi memenuhi Good Mining Practice (Tata Pertambangan yang Baik dan Benar).

Izin dan pengawasan pemda

Menunjuk UU No 32/Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka penguasa daerah seperti para bupati  dan walikota  sekarang mempunyai kewenangan/hak mengeluarkan izin  pertambangan. Karena itu, pengawasan pemda harus tuntas. Jangan hanya mau dapat fee untuk izin pertambangan tetapi tidak mengawasi sepak terjang para penambang sehingga menimbulkan masalah sosial dan masalah lingkungan.

Dengan demikian  maka akuntabilitas  Prinsip Pembangunan Berkelanjutan harus ada di tingkat Pemda. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here