Renungan Harian
Selasa, 18 Januari 2022
Bacaan I: 1Sam. 16: 1-13
Injil: Mrk. 2: 23-28
SEKIAN tahun yang lalu, saya diundang sebuah keluarga untuk dimintai pendapat berkaitan dengan puteranya.
Anak laki-laki keluarga ini meminta restu kepada kedua orangtuanya untuk menikah dengan gadis pilihannya. Namun orangtua dan keluarga besarnya menolak. Akan tetapi puteranya tetap pada pendiriannya dan pilihannya, sehingga keluarga ini menjadi tegang.
“Romo, coba romo lihat dua foto ini, kelihatan kan bedanya? Yang satu kelihatan bahwa anak ini orang yang terpelajar, pinter, bersih dan cantik; sedangkan yang satu ini tidak ada aura baiknya, kelihatan bodoh dan tidak terurus.
Dari apa yang kelihatan saja, Romo bisa menilai. Saya tidak mengerti dan tidak habis pikir kenapa dia memilih anak itu. Anak saya ini lulusan S-2 di luar negeri; sekarang sudah bekerja mapan, perawakannya bagus dan jelek-jelek kami ini masih keluarga keraton.
Romo, anak itu orang desa, hanya lulusan SMA di desanya sana; orang tuanya buruh tani apa yang mau diharapkan dari anak ini.
Ngomong bahasa Jawa, maunya bahasa halus tetapi malah bikin telinga kami ini sakit. Dari cara bicaranya saja sudah jauh dengan kami. Anak desa “kluthuk” (desa pedalaman) tidak sederajat dengan kami.
Pokoknya gak ada yang bisa diharapkan dari anak ini; anak desa “kluthuk” kok mau jadi menantu kami.
Romo tahu jambu “kluthuk“, (jambu biji) itu jambu banyak bijinya tidak enak dimakan; sama “gedhang kluthuk” (pisang batu) gak pantes dihidangkan untuk buah.
Amat berbeda dengan yang ini, dia gadis berpendidikan, keturunan “priyayi” (bangsawan).
Gadis pinter, bahasanya halus runtut, tata kramanya komplit, bibit, bobot dan bebetnya bagus, wah pokoknya menantu pilihan,” bapak itu menjelaskan mewakili keluarga.
Sementara anak laki-lakinya diam menyimak.
“Bapak, ibu jangan hanya melihat dari luarnya. Jangan terpesona dengan apa yang bapak ibu lihat sekilas. Bapak, ibu belum kenal betul dengan pilihan saya. Bapak, ibu maaf, saya tidak melihat penampilan, bahasa dan kebangsawanan, tetapi saya melihat hatinya dan perilakunya,” anak laki-laki itu mengutarakan pendapatnya.
“Bapak, ibu mohon maaf saya tidak bisa menilai karena saya tidak kenal dua-duanya. Saya mengerti bahwa bapak, ibu mengharapkan yang terbaik untuk puteranya.
Namun menurut hemat saya, yang terbaik menurut bapak ibu belum tentu terbaik untuk putra bapak, ibu. Kiranya putera bapak ibu punya penilaian yang lain, yang lebih mendalam daripada apa yang bisa kita lihat; karena dia yang lebih mengenal, seperti yang tadi telah diungkapkan.
Bapak, ibu, tidak berarti orang desa “kluthuk” itu pasti bodoh dan tidak bisa diharapkan; sebagaimana jambu “kluthuk” dan “gedhang kluthuk” banyak manfaatnya, meski banyak bijinya.
Mungkin bahasa dan tata kramanya aneh bagi keluarga bapak ibu, tetapi bukan berarti dia tidak sopan dan tidak bertata krama, hanya berbeda saja.
Sebagaimana ada ungkapan “desa mawa cara, kutha mawa tata” (desa dan kota punya adat kebiasaan sendiri-sendiri) jadi tidak bisa disamakan.
Usul saya bapak, ibu dan keluarga besar mengenal dulu pilihan putera bapak ibu. Jangan terpukau dulu dengan yang nampak, tetapi mengenal dengan kaca mata putra bapak ibu mengenal calonnya,” jawab saya.
Sering kali kita terpukau dengan apa yang nampak dan lupa dengan yang dibalik dari apa yang nampak.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Samuel:
“Janganlah terpancang pada paras atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.”