Mencermati Ciri Khas Pendidikan Katolik

3
7,886 views

sekolah3 emailMEMPRIHATINKAN memang membaca sebuah artikel tulisan seorang milister di sebuah milis jaringan pendidikan katolik.  Saya meyakini apa yang ditulis dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan, bahwa pendidikan adalah sarana strategis pewartaan iman (Loh.  Gravissimum Educationes GE. 8).

Adapun ciri khas sekolah katolik antara lain:

  • Menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil, kebebasan dan cinta kasih;
  • Membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang ciptaan baru; sebab itulah, mereka menerima baptis;
  • Mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman.
  • Demikian sekolah Katolik, sementara sebagaimana seharusnya membuka diri bagi kemajuan dunia modern, mendidik para siswanya untuk dengan tepat guna mengembangkan kesejahteraan masyarakat dunia, serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan memberi teladan hidup merasul mereka menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas.

Pernyataan ini telah terbukti dalam sejarah pendidikan Katolik dalam Gereja di Indonesia dimana perkembangan Gereja Katolik tidak dapat dipisahkan dengan adanya sekolah-sekolah Katolik. Banyak baptisan-baptisan baru dan tokoh-tokoh Katolik militan berasal dari sekolah-sekolah Katolik.

Namun kenyataan sekarang sungguh memprihatinkan.

Sekolah-sekolah Katolik sudah banyak yang harus tutup karena berbagai alasan. Ambil contoh sekolah-sekolah Kanisius di Jawa Tengah dan DIY, juga beberapa sekolah Katolik lain. Dulu sekali, sekolah-sekola katolik ini pernah menjadi kebanggaan Gereja. Namun sekarang, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya, sekolah-sekolah ini sudah tidak lagi moncer di kancah perbincangan Gereja.

Banyak ditutup

Dalam beberapa tahun terakhir paling tidak tiga sekolah Katolik di Magelang (SMP St. Maria, SMP Kanisius Mertoyudan, dan SMP Kanisius Secang) yang kabarnya harus menerima nasih yakni ditutup karena tidak ada murid. Sementara sekolah Katolik yang ada rasanya berjalan tertatih-tatih untuk bersaing dengan sekolah-sekolah baru yang bermunculuan terutama di kota-kota besar.

Tidak dipungkiri bahwa masih ada beberapa gelintir sekolah katolik yang masih sangat eksis seperti SMP-SMA  Kanisius Jakarta,  satu SD Kanisius di Yogyakarta, SMA Loyola,  de Brito,  beberapa sekolah asuhan para Suster Ursulin dan beberapa sekolah Katolik lain. Mereka masih eksis, namun jumlah muridnya sudah semakin berkurang.

Mencermati dan merenungi kondisi demikian dan sekaligus menanggapi tulisan seorang milister,  saya memiliki pemikiran/usulan:

  • Mungkinkah Gereja dalam hal ini mungkin Komdik dapat mengumpulkan para tokoh Katolik yang ahli dalam pendidikan maupun orang-orang Katolik yang memiliki perhatian tinggi terhadap sekolah Katolik untuk dijadikan think thank nya pendidikan katolik?;
  • Apakah Gereja dapat mengusahakan beasiswa bagi generasi muda Katolik yang memiliki potensi untuk diberi beasiswa untuk disiapkan sebagai tenaga-tenaga di bidang kependidikan yang handal sehingga nantinya dapat membantu sekolah-sekolah katolik yang ada dibawah naungan gereja.

Usulan pertama mungkin dapat dimulai dalam lingkup kecil di Jakarta terlebih dahulu, kemudian baru meluas ke daerah-daerah lain. Kita mungkin dapat mencontoh ICMI yang dimiliki oleh saudara-saudara kita Muslim yang dapat menjadi think thank nya pendidikan Islam. Saya pernah mendengar saudara-saudara kita muslim setiap tahun memberi beasiswa 10 orang untuk menjadi kader-kader muslim yang andal, apakah Gereja kita dapat juga melakukan hal demikian?

3 COMMENTS

  1. Bicara pendidikan katolik tidak bisa terlepas dari politik pendidikan. Situasi nasional bangsa ini yang semakin dibawa mengerucut pada sosiologis pendidikan dengan pembedaan agama telah membawa perubahan peta strategis keterkotaknya masyarakat atas dasar identitas religinya sehingga berimplikasi pada kesadaran pentingnya pendidikan yang bersendikan visi keagamaan. Diakui atau tidak negara/pemerintah sesungguhnya telah gagal dalam membangun kebersamaan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang berazazkan Pancasila secara lebih nyata dalam praktik pengelolaan lembaga pendidikan. Hal kedua yang menonjol memberi sumbangan makin terpuruknya peran sekolah katolik adalah penerapan standar ganda oleh negara sendiri dalam soal penyelenggaraan pembiayaan pendidikan. Ada dikotomi yang sangat kentara misalnya soal membiayai pendidikan dasar dan menengah bagi sekolah negeri dan sekolah swasta, padahal senyatanya yang dibiayai itu peserta didik yang semestinya dimana pun ia bersekolah harus diurus oleh negara. Disatu sisi ingin menyelenggarakan sekolah negeri dengan program gratis namun diisi lain tidak memberikan formulasi yang jelas bagi sekolah swasta, sehingga sekolah-sekolah misi minoritas yang terpaksa menutup sekolah karena kalh bersaing. Padahal semestinya negaralah yang harus memelihara sumberdaya pendidikan yang ada. Belum lagi kalau mengingat sekolah negeri terus menambah kelas dan menutup mata terhadap kondisi peserta didik di sekolah swasta. Akhirnya besar-besaran pula mengangkat guru negeri, tapi maunya hanya untuk sekolah negeri. Bagaimana ini? Bukankah semestinya semua guru itu pegawai negeri lalu disebar disemua sekolah yang ada tanpa pandang negeri atau swasta? Inilah yang sesungguhnya menjadi biangkerok salah satu permasalahan pendidikan kita yang carut marut ? Ketika negara hendak membangun pendidikan rasanya kok masih berkutat pada sarana pra sarana pendukung saja (hardware), dan belum sampai pada penyiapan perangkat lunak secara serius, terencana, berkelanjutan dan konsisten? Pendidikan tentu bukan sekedar menyediakan gedung sekolah, peralatan dan guru tetapi harus ada perangkat lunak sebagai muara terpenting tempat disemaikannya nilai-nilai kehidupan bagi tunas-tunas muda yang tidak lain adalah para siswa. Dalam hal terakhir itulah kitq bersyukur bahwa sekolah katolik masih memilikinya. Keunggulan inilah yang perlu kita banggakan dan terus upayakan keberlangsungannya. Bukankah sejatinya pendidikan ada di sana? Kita harus tetap optimis bahwa orientasi kualitas itulah yang akan terus dibutuhkan oleh bangsa ini.

  2. Kalau saya melihat dari sisi pembiayaan sekolah. Banyak anak-anak katolik yang cerdas dan berkeinginan masuk sekolah Katolik tetapi tidak mampu karena biaya sekolahnya yang mahal. Padahal orang tua sangat ingin menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga Katolik selain mendapat ilmu pengetahuan juga dokrin-dokrin Katolik. Ajaran/Katolik tidak mungkin di dapat di Gereja karena keterbatasan waktu. Sekali lagi mohon diperhatikan uang sekolahnya.

  3. Sekolah perlu lebih kreatif mengelola sumber daya yang ada. Kreatifitas pengelolaan harus mampu membawa kebaikan bagi masyarakat sekitar. Tidak usah jauh-jauh dan tidak usah neko-neko. Lepaskan kemelakatan terhadap simbol2 eksklusifitas. Jangan “menyentuh” persoalan politik atau persoalan2 lain yang de facto adalah “sensitif”. Sehingga, kreatifitas pengelolaan itu adalah internal: sepenuhnya tentang manusia. Kembalikan ke jati diri ke”manusia”an, dan pelan2 mesti mampu menghindari ke”benda”an. Artinya, urusannya ya murid2 itu. Anak2 didik kita, misalnya. Sudahkan kita mampu berkawan, berteman dengan mereka? Sudahkan kita mampu menjadi figur yang baik buat mereka? Jangan pernah menyebut guru/pendidik sebagai “profesi” tetapi “panggilan” (= a vocation).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here