BERTEMPATdi sebuah hotel di kawasan Jakarta Barat, sebanyak 120 orang guru Pendidikan Agama Katolik diundang dalam rangkaian kegiatan yang diselenggarakan DIrektorat Jenderal Bimas Katolik, Kementerian Agama RI. Kegiatan yang bertajuk Pembinaan dalam rangka pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila tingkat nasional ini berlangsung dari 1–3 Desember 2017.
Eusabius Binsasi selaku Dirjen Bimas Katolik mengatakan bahwa kegiatan ini diadakan secara khusus dan baru. Kegiatan ini mengusung tema Pancasila, karena inilah dasar untuk mempersatukan dan menguatkan keberagaman kita sebagai satu bangsa dan negara. Hal ini diwujudkan dengan hadirnya peserta yang berasal dari berbagai propinsi di Indonesia.
Tantangan
Pancasila juga menjadi dasar bagi rumah besar yang bernama Indonesia. Namun, kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini mengalami pergeseran. Pancasila terus mengalami benturan dan tantangan yang besar.
Dalam dunia pendidikan, tantangan yang muncul adalah proses pedagogic neo-liberal yang berorientasi untuk menyiapkan didik menjadi pekerja. Padahal, sekolah bukan hanya untuk menciptakan para pekerja, melainkan harus membebaskan peserta didik untuk menentukan arah hidup. Guru PAK dipanggil untuk mengembalikan orientasi yang keliru itu, agar tercipta orang katolik yang baik dan juga warga Negara yang baik.
“Pancasila adalah hal hakiki bagi bangsa kita yang mempersatukan. Untuk itu, secara khusus Keuskupan Agung Jakarta menjadikan 5 sila sebagai dasar permenungan dalam hidup menggereja. Setiap tahun KAJ mengusung tema yang diambil dari satu sila. Untuk tahun 2018, tema yang digunakan adalah Persatuan Indonesia,” ujar Mgr. Ignatius Suharyo.
Ingatan melawan lupa
Beliau menegaskan pentingnya melawan lupa, terutama berkaitan dengan sejarah bangsa. Banyak hal yang bisa kita petik pelajarannya terutama dalam menggali peran Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak tokoh Gereja yang berperan penting dalam menegakkan dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila pada zaman dulu.
“Melawan lupa dapat dilakukan dengan mengingat dan merawat ingatan secara bersama,” kata Bapak uskup.
Uskup Agung Jakarta sekaligus ketua KWI ini menggariskan kembali tentang 3 pilar utama dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu: Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945). Ingatan akan peristiwa itu dalam dirawat salah satunya dengan menyanyikan dan melestarikan lagu-lagu kebangsaan.
Pada zaman ini, ingatan tersebut pun hasil diaplikasikan dalam tindakan nyata sehingga membawa dampak perubahan dalam masyarakat. Hal ini dperlukan karena ditengarai saat ini sedang terjadi proses detradisionalisasi dalam masyarakat. Artinya, nilai-nilai tradisional dulu yang luhur dan mulia, sekarang sudah mulai ditinggalkan.
Dalam menanggapi pertanyaan dari peserta dialog, Mgr. Suharyo menasehatkan: “Gereja jangan menunggu munculnya pahlawan bangsa, karena itu sangat sulit untuk zaman ini. Namun, yang nyata bisa dilakukan Gereja adalah melakukan secara bersama hal-hal luhur yang sudah dilakukan pahlawan-pahlawan itu saat ini.”
Selain Mgr. Suharyo, ada beberapa narasumber yang hadir untuk membagikan pemikiran, permenungan yang selalu disertai dengan dialog bersama peserta.
Agustinus Tungga Gempa, sekjen Bimas Katolik menguraikan gagasannya tentang “SDM Ditjen Bimas Katolik dan Dukungan terhadap nilai-nilai Pancasila”.
Berkaitan dengan Pendidikan agama di sekolah, beliau menggariskan seperti ini:
- Guru mempunyai tugas: mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi serta melaksanakan pembimbingan siswa.
- Guru terlibat secara aktif dalam pembentukan karakter siswa. Bagaimana pendidikan agama di sekolah?
- Guru agama memiliki nilai ‘plus’
- Guru agama dapat menjalankan 2 jenis kegiatan yaitu: kegiata intra kurikuler maupun ekstrakurikuler.
Dari kalangan pengamatan dan praktisi dunia politik, narasumber yang dihadirkan yaitu: Dr. Martin L. Sinaga, tenaga ahli utama Unit Kerja Presiden bidang Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP–PIP).
Dr. Martin menegaskan kembali tentang pentingnya Menghidupi nilai-nilai Pancasila dan Kewiraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini sejalan dengan isu Strategis Pembinaan Pancasila (UKP-Pancasila) Unit Kerja Presiden – Pembinaan Ideologi Pancasila):
- Pemahaman Pancasila.
- Inklusi Sosial.
- Keadilan Sosial.
- Pelembagaan Pancasila.
- Keteladanan Pancasila.
Latar belakang isu ini dikarenakan makin gencarnya ancaman terhadap kelanggengan NKRI, krisis penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, radikalisme dan fundamentalisme agama, etnosentrisme sempit, serta amoralitas para anak bangsa, baik rakyat maupun pemerintah.
Ali Taher dari Komisi VIII DPR-RI juga ikut menjadi narasumber yang memaparkan tentang Empat pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Empat pilar yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harus selalu menjadi landasan hidup sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia.
Pancasila – Deradikalisasi: Peranan keluarga dan sekolah yang disampaikan oleh Dr. Thomas Tokan Pureklolon menjadi penegasan dari serangkaian materi dalam kegiatan ini. Keluarga dan sekolah sangat urgen untuk meredam deradikalisasi sehingga tidak terjadi pengabaian nilai-nilai kehidupan.
Proses yang dapat dilakukan di dalamnya misalnya:
- Mengajarkan ajaran agama dan budi pekerti dengan benar hingga anak memiliki prinsip yang benar dalam hidup.
- Membangun hubungan yang penuh kasih antar anggota keluarga agar anak merasa aman dan nyaman dengan keluarganya.
Pada akhirnya, para peserta diminta untuk membuat komitmen bersama, berdasarkan region, tentang wujud atau tindakan nyata menumbuhkan kembali, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila di dalam keluarga, masyarakat dan Gereja.
Dari komitmen ini diharapkan nantinya dapat menjadi rekomendasi untuk diterapkan secara lebih luas melalui rekomendasi dari Dirjen Bimas Katolik, Kementerian Agama RI.