SEBAGAI makhluk sosial manusia terikat pada satu konsekuensi, yakni relasi. Ada dua macam relasi: formal dan informal.
Sebagian relasi formal biasanya dibuat legal. Tertulis. Namanya perjanjian, kontrak atau ikatan. Lewat relasi-relasi formal itu kehidupan manusia mulai dan berlangsung. Bukankah mayoritas manusia lahir dari pernikahan yang merupakan perjanjian?
Hubungan manusia dengan Tuhan juga diikat dalam perjanjian. “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu,” demikian firman Tuhan kepada Abraham (Kej 17: 7).
Kita bukan keturunan biologis dari Abraham. Tetapi secara iman kita adalah keturunannya. Karena itu, kita semua terikat dalam perjanjian iman itu dan konsekuensinya.
Konsekuensi terpentingnya adalah berpegang pada perjanjian itu. Tuhan berfirman, “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun.” (Kej 17: 9).
Sejak perjanjian itu dibuat hidup manusia tidak bebas, sekaligus bebas. Tidak bebas karena terikat perjanjian. Bebas, karena ikatannya dengan Allah, Sang Kebebasan Sejati. Hanya yang terikat kepada Allah tetap bebas.
Segala ikatan lain mengurangi kebebasan manusia. Yang terikat pada manusia dan barang dunia kehilangan sebagian kebebasannya. Yang terikat pada setan dan dosa kehilangan segalanya. Mati. Lihatlah orang-orang yang terikat pada dukun.
Orang diingatkan untuk setia menghayati perjanjiannya dengan Tuhan. Di sana dia mengalami kebebasan dan keselamatan.
Sang Guru Kehidupan bersabda, “Sesungguhnya, barangsiapa menuruti firman-Ku ia tidak akan mati selama-lamanya.” (Yoh 8: 51).
Firman itu mengingatkan perlunya menegaskan kembali perjanjian dengan Tuhan.
Kamis, 7 April 2022