BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Senin, 3 Januari 2022.
Tema: Sedari awal rukun dan damai.
Bacaan
- 1 Yoh 3: 22 – 4: 6.
- Mt. 4: 12- 17, 23-25.
TERLIHAT sebuah keluarga selesai berdoa.
Mereka rutin berdoa bersama. Pertama-tama di depan Sakramen Maha Kudus, kemudian ke Bunda Maria yang persis agak ke belakang di samping gereja.
Pagi itu, saya cenderung mau menyapa mereka dan ingin mengajak masuk ke pastoran untuk sejenak ngobrol, minum teh bersama.
“Yuk masuk Yuk. Kita minum teh bersama. Ini kan hari libur. Apakah ada acara?” ajakku.
“Tidak Romo. Tidak ada acara khusus. Hari ini kami berdoa dan kumpul di rumah bersama. Kalau berkenan silakan mampir Romo,” ajak mereka.
“Baiklah suatu saat ya. Sekarang mari kita ke pastoran.”
Saya menawari minuman tetapi mereka membuat sendiri. Teh manis bagi mereka dan kopi bagi sang ayah.
“Saya sering melihat kalian. Kelihatan akur. Rajin berdoa. Di komunitas juga aktif. Saya sering lihat Jessica dan Juliana juga sering ikut acara komunitas.”
“Ya begitulah. Kami dulu diajari oleh orangtua menyempatkan diri berjumpa dengan satu iman baik. Baik di Gereja setiap hari Minggu maupun acara di komunitas. Kami melanjutkan kebiasaan baik itu. Membiarkan anak-anak bergaul dengan sesamanya satu iman. Belajar berani berjumpa dengan orang lain
“Jessica sama Juliana kok badannya hampir sama. Wajahnya juga. Saya sering melihat kalian berpakaian sama. Gerak-geriknya pun tak berbeda. Kembar ya?”
“Iya,” sahut sang ayah.
“Berapa bobot ketika mereka lahir dan siapa yang dulu?”
“Masing-masing hampir tiga kilo. Juliana yang lebih dulu lahir.”
Si anak tersenyum dan melirik adiknya. Menyejukkan melihat mereka.
“Anugerah Tuhan romo. Kami juga menanti anak yang ketiga. Dipastikan laki-laki. Sekarang memasuki usia enam bulan.”
“Wow hebat. Terima kasih ya sudah rela, ikhlas mempunyai buah hati lagi. Gereja selalu gembira; menyambut sukacita bayi-bayi yang lahir.”
“Semoga anak-anak kami boleh menjadi putera-puetri Gereja. Tetap setia pada iman. Kami dimampukan menjadi penerus iman.”
“Ayo. Gimana Jesica dan Juliana sering bertengkar? Sering rebutan makan? Pakaian? Atau sering ribut soal alat-alat tulis yang salah ambil atau rebutan?”
“Jarang sekali,” sahut ibunya. “Kalau mereka kekurangan atau ingin sesuatu, saya hanya bilang coba beritahu ke ayah. Siapa tahu ada rezeki.”
Biasanya mereka bertanya kepada ayahnya.
“Papi Jessica dan Yuliana pingin ini. Papi ada uang?”
Biasanya si ayah berkata, “Sudah beritahu ke mama belom? Kan mama yang mengatur keuangan.”
Lalu biasanya mereka sama papinya pergi membeli yang mereka inginkan. Kalau saya tidak ikut, mereka membeli sejenis makanan untuk saya. Mereka makan di mal.
“Tapi ya itu Romo. Namanya juga anak. Kendati mereka sudah makan, tetap saja makanan kami makan bersama. Mereka menikmati. Jago, kalau makan.”
“Enggak. Mami yang ngasih,” celetuk Jessica.
“Sejak kecil, orangtua saya membiasakan dan mengajari anak tidak ribut satu sama lain. Apa pun soalnya. Kami mulai dengan diri kami sendiri. Kami tidak pernah ribut di depan anak-anak. Atau menyinggung perasaan dengan kata-kata tertentu.
Kamar kami adalah istana sekaligus api pencucian. Kami menikmati sebagai pasangan yang terberkati. Saling memberi dan menyempurnakan. Bicara halus kalau ada persoalan atau ketersinggungan.
Diusahakan selesai hari itu juga. Jadi, anak-anak tahunya kami tidak pernah ribut.
Mungkin anak-anak belajar dari kami. Mereka tidak pernah ribut yang besar. Ada sedikit iri. Kadang ngadat. Terlebih kalau yang satu lebih banyak di elus-elus kepalanya. Atau ditemani lebih lama.
Tapi ribut soal makanan, alat-alat tulis dan baju, itu tidak. Mereka punya lemari baju dan meja belajar masing-masing.”
“Siapa yang suka ngadat?”
“Jessica,” ia sebut namanya sendiri sambil angkat tangan.
Menyenangkan sekali kepolosannya.
“Apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.” 1 Yoh 3: 22.
Tuhan, kuduskanlah keluarga kami. Sertai langkah-langkah kami. Amin.