NATALAN tahun 2017 ini, saya diberi kesempatan untuk berasistensi di beberapa stasi di Paroki St. Teresia Jambi.
Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya telah melayani Misa Natal pada tanggal 25 Desember di Gereja Stasi St. Yosef di Pematang Tembesu.
Menuju perbatasan Jambi – Pekan Baru
Stasi Sri Agung, demikian biasa disebut, berada di dekat perbatasan Provinsi Jambi dengan Pekanbaru. Dari tempat saya tinggal, lokasi stasi ini berjarak 156 km. Jarak ini makan waktu tiga jam perjalanan darat.
Jalannya sudah 95% beraspal dan bagus, mengingat ini adalah jalan lintas provinsi; namun berkelok-kelok sehingga harus ekstra hati-hati.
Sepanjang jalan, mata saya hanya dihibur oleh pemandangan monoton yakni perkebunan pohon kelapa sawit dansaya harus membiasakan melihat hal itu. Memang sebagian besar penduduk di Jambi menjadikan sawit sebagai sumber rezeki mereka. Banyak pendatang dari Sumatera Utara dengan modal keberanian telah membuka hutan dan mengelolanya dengan sawit.
Tidak soal bahwa tanah itu belum bersertifikat. Faktanya, banyak keluarga bisa berhasil menyekolahkan anak-anaknya dan hal itu mampu menaikkan kesejahteraan hidup dengan cara demikian.
Pastoral di Pedalaman: Pekan Suci bersama Umat Katolik di Kokonau, Keuskupan Timika, Papua (1)
Bingung kehilangan arah
“Romo istirahat aja,” kata Mas Oki yang menemani saya dalam perjalanan panjang ini. Ia aktifkan konsentrasinya untuk menyetir mobil.
Inilah yang selalu dilakukan oleh para pastor SCJ di Paroki St. Teresia Jambi. Semua imam yang berasistensi boleh dibebaskan dari kewajiban harus nyetir jarak jauh dengan tujuan agar mereka dapat menyimpan daya untuk pelayanan natal.
Dan saya ‘dihadiahi’ Mas Oki.
Saya melayani dua stasi pada malam Natal dan berakhir di Stasi Gregorius Agung. Setelah menginap di Stasi St. Gregorius Agung Pematang Tembesu, pada pukul tujuh pagi saya harus melaju ke Sri Agung.
Inilah nama tempat dimana kapel Stasi St. Yosef berada.
- “Wah, sepertinya kita telah kesasar, Romo,” kata Mas Oki.
- “Ya coba pelan-pelan sambil diingat jalannya,” tanggap saya.
Lalu mas Oki kembali mencoba untuk menemukan jalan ke kapel. Setelah berusaha melintasi beberapa gang, ternyata masih saja tetap salah jalan dan keliru arah.
- “Romo maaf, saya blank,” kata Mas Oki.
- Saya spontan bilang, “Mas nek blank, mandeg Ojo nyetir mengko malah dadi gawe,” kata saya. (Kalau baru blan, jangan lanjut nyetir dan nanti malah jadi petaka)
Mas Oki lalu meminggirkan mobil yang kami kendarai. Saya memintanya untuk segera menghubungi salah satu umat setempat untuk menjemput kami.
“Jangan sampai kita nanti malah telat dan umat menunggu kita karena kita nekat keliling mencari kapel,” begitu saran saya.
Mas Oki mengiyakan komentar saya.
Tak berapa lama kemudian, sebuah motor bebek tanpa plat nomo dikendarai pria berbatik menjemput kami. Maka, sampailah kami di Kapel Sri Agung.
Ndeso
Saya begitu terharu bertemu dengan umat di sana. Anak-anak berebutan untuk bisa bersalaman.
- “Salam Romo,” kata mereka sambil memberikan tangan mereka.
- “Loh, kamu kok bajunya kembar?,” kepada dua anak berpakaian putih saya bertanya.
- “Kami nanti akan terima Komuni Pertama,” kata mereka.
Wajah mereka berbinar-binar memberi kabar kepada saya.
Nah, karena belum ada info tentang Komuni Pertama, saya pun segera menghubungi romo yang bertugas di paroki untuk memastikan bahwa romo setempat telah mengetahui.
Mayoritas petani
Umat Stasi St. Yosef ini sebagian besar adalah petani. Daerah Sri Agung termasuk tanahnya subur dan cocok untuk pertanian padi. Pertanian padi ini dikelilingi oleh kebun sawit. Tetapi setelah menembus hutan sawit, kita dapat menemukan kemolekan hamparan padi yang tengah hijau di sawah. Mereka tidak jauh dari kapel.
“Di daerah ini, cuma ada tiga gereja Romo,“ kata Pak Manihuruk, “dua gereja Kristen dan satu gereja Katolik,” lanjutnya.
Jumlah umatnya tidak banyak. Saya menghitung yang ikut komuni ada enam puluh orang. Anak-anak cukup banyak.
Saya merasa ada di tempat yang cukup sakral.
Melihat bangunan papan yang kokoh. Di dalamnya saya menemukan Gua Natal yang terbuat dari kardus dan koran di sisi kanan altar. Yesus mungil sudah berbaring di sana. Lampu berkelap-kelip, kendati tidak bisa mengalahkan sinar matahari pagi.
Sebelah kiri altar, dibuat Pohon Terang ala kadarnya. Yang membuat saya geli adalah ini: di
tengah-tengah ruangan bagian atas dihiasi kertas warna-wani seperti kalau saat pesta ulang tahun.
Lalu beberapa gantungan kepala Sinterklas dipasang. Suasana asli ndeso. Walaupun demikian, saya merasakan kesederhanaan, kemeriahan serta harapan berpadu menguasai ruangan ini.
Rindu kapel yang lebih memadahi
Umat terlihat sibuk menata ruangan. Beberapa ibu-ibu mengatur anaknya agar duduk tenang. Seharusnya misa telah dimulai (sudah pukul delapan) . Tetapi karena ini Natal, setahun sekali, maka harus harus meriah.
Karenanya, dengan taat kami menunggu pemazmur yang belum kunjung tiba.
Sembari menunggu, saya bertanya kepada salah seorang umat:
“Tanah di samping kapel ini untuk apa?,” kata saya
Saya melihat hamparan tanah kosong belum lama diratakan.
“Itulah bakal kapel kita yang baru Romo,” jelas si bapak.
“Kapel ini sudah terlalu kecil untuk kami. Selain itu, Romo lihat sendiri kondisi kapel ini.”
Saya menatap keliling kapel. Saya lihat dinding papan yang tidak lagi mampu menahan air. Ruangan dalam yang sempit seperti kamar tamu. Terlihat penuh dengan altar, mimbar dan hiasan Natal yang ada.
Memang kapel ini sudah tidak muat untuk Perayaan Natal. Umat yang menggelar tikar di luar lumayan banyak.
Sebagian duduk di kursi di halaman. Untunglah, Misa Natal ini disediakan speaker sehingga suara saya bisa sampai keluar.
- “Sejauh ini, kami sudah mengurus IMB Romo, tetapi dana awal kami semoga cukup,” jelas Sekretaris Stasi.
- “Sudah nabung berapa Pak?,” tanya saya.
- “Ya kalau dihitung-hitung baru Rp 40 an juta. Bisa untuk modal Romo,” katanya menjelaskan.
Mendadak ibu pemazmur datang.
- “Maaf, Romo terlambat,” kata ibu itu sebelum saya berkomentar.
- “Sudah siap? Mana buku Mazmurnya?,” tanya saya.
- “Ya Romo, lagunya sama dengan yang semalam kan?”
Saya mengecek sebentar lalu mengangguk. Lalu kami berdoa sesaat dan melanjutkan Perayaan Ekaristi.
Damai sejahtera
Perayaan Natal pagi ini begitu khitmat. Saya sebagai imam yang memimpin merasakan hal itu. Semalam saya telah merayakan dua kali misa di stasi lain. Suara saya mulai serak, karena kualitas mikrofon ak mampu memfasilitasi jumlah umat yang besar.
Syukurlah mikrofon di Stasi Sri Agung ini lumayan baik. Walau saya harus bergantian dengan pemazmur dan lektor.
Rancangan homili saya berubah ketika berhadapan dengan umat dan tempat yang begitu sederhana, di ujung kampung, di dekat tebing tanah sawit. Dari mulut saya mengalir permenungan tentang gua natal mereka yang begitu sederhana.
Saya bercerita tentang sejarah Santo Fransiskus Asisi yang membantu umat untuk menghayati kisah kelahiran Yesus.
“Saudara-saudari, Tuhan lahir di tempat yang sederhana; bukan tanpa maksud. Justru dalam gua itu, Ia menyatakan kepada siapa pun, bahwa di situ itu adalah tempat bernaung yang aman. Ia gunung batu. Dalam kesederhanaan, ia memberi naungan supaya orang merasakan damai di sana,” begitulah kata-kata saya.
Saya terhenti sesaat melihat bangunan Kapel St Yosef ini.
“Saya juga percaya, kapel yang sederhana ini adalah tempat bernaung kita. Setiap kita datang kita merasakan damai Kristus.”
Saya tak mampu lagi berucap menatap wajah umat yang begitu bersinar seperti para gembala yang melihat bintang dan malaikat.
Makan seadanya
Hal yang begitu biasa bagi mereka ialah makan bersama. Seperti Jemaat Perdana saja, setiap mereka bersekutu, selalu ada perjamuan persaudaraan. Kali in, menu Natal adalah saksang dan kodok pedas.
Kami makan bersama sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan atas kehadiran Tuhan Yesus.
“Romo tambahlah,” kata seorang ibu.
Saya tersenyum. Saya tidak berani makan banyak saksang. Ini berbahaya untuk perut saya. Hahaha pedas dan … Saya melihat ke dalam kapel, guru Sekolah Minggu sedang membagikan bingkisan Natal yang dititipkan oleh sebuah keluarga lewat saya.
Anak-anak begitu bersemangat mendapat bingkisan.
“Ingat yang baru saja Komuni Pertama tidak usah antri ikut mendapatkan bingkisan.”
Eee ternyata mereka juga tidak mau ketinggalan mendapatkan.
“Romo bingkisannya lebih, jadi kami minta juga ya…,” pinta mereka.
Selepas ramah tamah di halaman kapel, saya mengajak mereka berfoto bersama.
Saya bilang;
- “Ayo foto, nanti gambar kita bisa masuk ke Sesawi.Net.”
- “Apa itu Sesawi.Net, Romo?” tanya Mbah Kadi.
- “Itu portal berita-berita katolik di jalur internet,” kata saya.
Dan umat pun menjadi riuh senang.
Natal pada siang hari itu begitu meninggalkan rasa sukacita di hati saya.
Saya berpamitan dan segera kembali ke Jambi. Sambil menikmati sawit dan memori kesederhanaan bersama umat di Stasi Sri Agung. Sementaraitu, Mas Oki terus menginjak gas menuju Kota Jambi.
Selamat Natal 2017.
Album Pastoral Pedalaman bersama Umat Katolik di Kokonau, Keuskupan Timika (6)