USAI rampung melakukan reksa pastoral liturgikal dengan Trihari Suci di Paroki Hepuba, Wamena, Papua, saya mendapat kesempatan istimewa.
Mengunjungi pasar tradisional di Wamena. Dan kemudian, merasakan pengalaman luar biasa. Sebagai “orang asing” pendatang musiman di Masa Paskah, saya mengalami atmosfir suasana kemeriahan dan keakraban amat kental di Wamena ini.
Bersama puluhan masyarakat asli Papua. Dalam tradisi makan bersama yang biasa disebut Pesta Bakar Batu.
Nilai antropologis
Menurut catatan di Wikipedia, tradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua Pegunungan.
Inilah pesta berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung. Dilakukan dengan tujuan bersyukur, bersilaturahmi (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku).
Juga, kadang kala, untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku-suku asli Papua di wilayah pedalaman, pegunungan, seperti di Lembah Balim, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo dll.
Disebut Bakar Batu karena batu-batu itu itu sengajar dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di Wamena, tradisi adat lokal ini disebut Kit Oba Isogoa.