Renungan Harian
8 November 2021
Bacaan I: Keb. 1: 1-7
Injil: Luk. 17: 1-6
DALAM sebuah pembinaan persiapan perkawinan, saya memberi beberapa pertanyaan yang harus dibicarakan dengan pasangan masing-masing.
Salah satu pertanyaan adalah “Bagaimana dan apa yang akan kamu lakukan kalau dalam perjalan hidup perkawinan, ternyata pasangan anda selingkuh”.
Setelah beberapa waktu diberi kesempatan berpikir, menjawab dan bicara dengan pasangan masing-masing, saya meminta mereka untuk syering di depan semua.
Dari semua peserta, hanya satu yang mengatakan bahwa dirinya marah. Hampir semua peserta mengatakan bahwa mereka akan introspeksi, melihat diri sendiri apa yang salah dan apa yang kurang dalam dirinya sehingga pasangannya selingkuh.
Selanjutnya akan membicarakan dengan pasanganya dan kemudian saling mengampuni dan memulai sesuatu yang baru untuk melanjutkan hidup perkawinan mereka.
Ketika saya bertanya apakah benar mereka akan mengampuni dan akan menerima pasangannya yang selingkuh serta berani melanjutkan perkawinan mereka, hampir semua mengatakan “Iya”.
Saya menyampaikan kepada semua peserta bahwa saya merasa mereka semua bohong. Sontak mereka semua tertawa.
Saya mengulangi pertanyaan untuk menegaskan apakah betul mereka tidak marah dan lebih memilih introspeksi diri, semua peserta senyum-senyum.
Kemudian beberapa berani menjawab bahwa mereka sejujurnya marah dan sulit untuk mengampuni namun berjuang untuk mengampuni.
Salah seorang dari mereka bicara: “Romo, mengampuni itu sulit. Sekarang pun saya sering sulit mengampuni. Saat pasangan saya bersalah, misalnya janjian dia lupa, atau terlambat menjemput, yang muncul dalam diri saya adalah marah.
Saat pasangan saya minta maaf, saya bilang “iya” tetapi sebetulnya masih dongkol dan belum sungguh-sungguh mengampuni. Kalau saya bilang “iya” sebetulnya karena saya tidak ingin ribut.
Perasaannya yang muncul adalah seperti mengatakan: “Ya sudahlah, mau apa karena sudah terjadi. Ribut-ribut juga tidak berguna.
”Tetapi romo jeleknya saya adalah sering kali mengungkit bahwa dia sering seperti itu, sehingga jadi tambah jengkel.”
Ungkapan jujur salah satu peserta itu, seolah mewakili diri saya dan mungkin banyak orang. Pengampunan yang diberikan pada orang yang meminta maaf seringkali seperti basa-basi karena tidak mau ribut.
Kecenderungan yang muncul adalah berusaha melupakan sakit hati, atau kemarahan atau dendam yang ada pada diriku.
Akibatnya, tanpa sadar selalu muncul kemarahan atau membuat relasi tidak baik.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Yesus menegaskan kembali pentingnya pengampunan.
Bahkan Ia bersabda: “Bahkan jika ia berbuat dosa terhadapmu tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: “Aku menyesal,” engkau harus mengampuni dia.”
Bagi saya belum terbayang bila hal itu terjadi pada diriku.
Seandainya hal-hal sederhana tentu dengan mudah memberikan pengampunan. Namun bila hal itu menyangkut hal yang sungguh melukai pasti akan sulit.
Tidak dipungkiri aku akan memberikan cap pada orang itu bahwa dia “penjahat” pun kalau dia hanya sekali melukai dan sudah tidak berbuat salah lagi padaku.
Kiranya Tuhan mengajakku untuk belajar mencintai dengan benar.
Pengampunan menjadi bagian tak terpisahkan dari mencintai.
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku mampu untuk memberikan pengampunan?