Mengampuni, Menang tanpa Mengalahkan

2
610 views
Mengampuni.

Kamis, 9 September 2021

Kol.3:12-17.
Mzm.150:1-6.
Luk.6:27-38

SAYA memang terluka, ketika fitnah tentang diriku menyebar kemana-mana. Rasanya semuanya menjadi berantakan dan memalukan.

Sebagai manusia biasa, saya sangat merasa terluka saat berhadapan dengan mereka yang memusuhi, membenci, mengutuk, dan memfitnah saya.

Tidak mudah melupakan perilaku mereka yang telah tega melukai hati ini.

Sebuah beban yang sangat berat harus saya pikul, ketika saya harus menjalani hari-hari dengan mengingat kata-kata fitnah mereka.

Firnah dan penyebaran gosip telah merusak reputasi dan nama baik saya.

Bagai selembar kertas yang kita remas, tidak mungkin pulih menjadi halus lagi.

Demikian nama baik dan kepercayaan orang yang telah rusak.

“Saya tahu keluarga adik saya -khususnya ipar telah berbuat lancang- dan menyebarkan fitnah atas hidup saya sekeluarga,” kata seorang ibu.

“Kalau ingat perbuatannya, saya sangat malas bertemu mereka. Tetapi karena alasan kemanusiaan semata, maka saya mau merawat dia waktu sakit,” katanya.

“Apalagi nasihat ibu almarhum agar kami supaya saling menjaga antara kami, kakak beradik,” lanjutnya.

“Dia adik iparku perempuan, yang saat ini sakit stroke. Dulu ia begitu hebat, cantik, sukses, kaya. Namun mulutnya tajam dan suka menyebar gosip,” ujarnya.

“Ia menfitnah saya sekeluarga atas harta warisan orangtua, hingga ibuku sakit dan meninggal. Ia fitnah bahwa suamiku yang menguasai semua aset orangtuaku hingga adikku tidak mendapat apa-apa. Bahkan adikku kami larang untuk pulang dan mengunjungi ibu,” sambungnya.

“Padahal mereka sendiri yang berusaha merebut semua aset dan mau menjualnya serta tidak punya niat untuk mengunjungi ibu. Saya memang bersikeras melarang aset itu dijual, karena ibu masih ada dan masih sangat diperlukan untuk menunjang kehidupan ibu,” katanya.

“Mereka marah dan membuat cerita yang tak benar dan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Bahkan sampai ibu pun percaya dan marah pada kami,” lanjutnya.

“Akhirnya ibu membagi semua warisan. Kami sedih dan hanya mengikuti saja. Tidak selang berapa lama ibu meninggal,” ujarnya.

“Setelah sepuluh tahun berlalu, adikku iparku sakit dan kini ikut kami karena adikku harus kerja di kapal pesiar, dan baru bisa pulang setahun sekali,” lanjutnya.

“Dari dulu saya tidak pernah mau membalas kejahatan dan fitnah mereka. Saya hanya diam dan berusaha mengampuni dan mendoakan mereka,” katanya.

“Apa yang terjadi pada diri mereka saat in, bukan karena saya. Namun menjadi pelajaran bagi saya. Bahwa fitnah dan cercaan itu tidak merusak hidup saya, tidak bisa membunuh saya, tidak membuat saya habis,” lanjutnya.

“Fitnah itu justru mendewasakan saya. Dan membuat saya lebih hati-hati dalam bersikap, berkata dan bertindak dalam hidup dengan orang lain,” ujarnya.

Pengalaman-pengalaman negatif yang kita jumpai dalam hidup ini dapat kita ubah menjadi berkat dan sukacita. Bila kita memiliki kemauan dan kerendahan hati untuk mendengarkan nasihat Yesus.

Yesus meminta para murid dan diri kita untuk berani mengubah hukum gigi ganti gigi dengan hukum Kasih.

Mengampuni orang yang memusihi kita. Memang tidak mudah, namun perlu waktu yang panjang untuk menjadi pemenang hati seperti yang Tuhan Yesus kehendaki.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku sudah menjadi pribadi pengampun atau masih menjadi pribadi pendendam?

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here