Mengapa Aku Hidup?

5
3,315 views

google

INI adalah perbincangan antara aku dengan diriku sendiri. Jadi, bila nada kalimatnya terasa menggurui, bukan maksudnya merasa lebih pintar dari Anda semua. Ini sekadar refleksi atas perjalanan hidup yang kutempuh selama ini.

Kenapa aku hidup? satu-satunya alasan hanyalah karena kita harus belajar dalam kedagingan kita. Saat kita menjadi roh (spirit), tak ada rasa sakit yang bisa kita rasakan. Kelahiran dan kehidupan, bagiku adalah saat pembaharuan, renewal. Jiwa kita akan diperbaharui.

 

Saat kita berada dalam kedagingan di dunia ini, rasa sakit akan terasa sekali. Dalam bentuk spirit, tak ada rasa sakit. Yang ada hanyalah kebahagiaan. Periode pembaharuan tampil saat kita berinteraksi dengan orang lain. Dalam kehidupan fisik/kedagingan inilah pengalaman berelasi menjadi nyata terasa.

Karena itu saat kita mulai datang ke dunia ini (ahir), sumber utama pembelajaran jiwa kita adalah relasi, relationship. Lewat kegembiraan, rasa sakit akibat interaksi dengan orang lain, kita akan mengalami perkembangan dalam jalur spritual sehingga kita bisa belajar banyak hal dari segala segi.

Relationship adalah laboratorium hidup, sebuah arena ujian untuk menentukan bagaimana kita bersikap. Apakah pelajaran hidup yang kita peroleh telah kita pelajari dengan baik, untuk menemukan seberapa dekat kita dengan rencana kehidupan yang telah ditentukan.

Dalam relationship emosi kita muncul, dan kita bereaksi. Apakah kita sudah belajar memberikan pipi yang satu saat pipi yang lain ditampar orang lain atau kita berusaha membalasnya dengan kekerasan? Apakah kita bereaksi pada orang lain dengan pengertian, cinta, dan belas kasih atau kita bereaksi dengan rasa takut, egois dan penuh penolakan?

Tanpa relationship, kita tak akan tahu, juga tak akan bisa menguji kemajuan hidup kita. Semuanya begitu luar biasa, meski kesempatan belajar ini tampaknya begitu sulit. Maka, jangan heran bila Yesus, guru kita mengatakan demikian “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagiKu” (Mat. 10:38).

Aku ingat ketika berada di Novisiat St. Stanislaus, Girisonta tempatku digodok untuk dijadikan seorang Yesuit. Ada kebiasaan di tempat ini untuk melakukan pendakian bersama-sama di sebuah gunung. Yang paling dekat Gunung Ungaran. Bisa juga Gunung Merbabu. Kenapa naik gunung? Itulah pertanyaan yang sering aku lontarkan. Dan jawabannya kudapatkan setelah beberapa kali melakukan pendakian bersama kawan-kawan.

Saat mendaki gunung bukanlah saat yang menyenangkan, karena jalur yang menanjak, jalan yang terjal, dan pastinya tidak sependek yang kita harapkan. Sementara masing-masing orang mesti membawa perbekalannya sendiri-sendiri. Sama seperti dengan hidup ini, saat-saat yang tidak enaklah yang menentukan kualitas hidup kita. Saat mendaki itulah kualitas kita sebagai kawan diuji, apakah dalam keadaan demikian, kita masih bisa memberi perhatian, memberi dukungan dan cinta kepada kawan-kawan meski apa yang kita jalani juga begitu berat dan tidak mudah.

Kita, berada di sini, di dunia, dalam bentuk fisik untuk belajar dan bertumbuh. Kita mempelajari sifat dan kualitas seperti cinta, kelemahlembutan (anti kekerasan), compassion, kemurahan hati, kesetiaan, harapan, memaafkan, pengertian dan kesadaran. Dan sebaliknya kita tidak perlu mengembangkan sifat dan kualitas negatif seperti egoisme, ketakutan, kemarahan, kebencian, kekerasan, ketamakan, bangga diri, prasangka.

Kita harus belajar menerima cinta sebagaimana kita juga belajar memberi cinta. Hanya dalam komunitas (relationship), dalam pelayanan kita dapat sungguh-sungguh mengerti semua yang mencakup sebagai energi cinta.
Hanya dengan relationship-lah kita bisa mempelajari semua sikap dan kualitas hidup ini.”

Pelajaran makin mendalam saat banyak kesulitan kita hadapi. Hidup dengan relasi yang kurang bagus, penuh halangan dan kehilangan, kata para guru spiritual memberi kesempatan bagi jiwa kita bertumbuh lebih. Karena itu, kesulitan hidup pada dasarnya akan mempercepat kemajuan spiritualitas kita, tergantung cara kita menghadapinya.

Cinta, kata sang guru, bukanlah proses intelektual, melainkan merupakan energi dinamis yang mengalir ke dalam dan melewati kita setiap kali, entah kita sadar atau tidak. Kita harus belajar menerima cinta sebagaimana kita juga belajar memberi cinta. Hanya dalam komunitas (relationship), dalam pelayanan kita dapat sungguh-sungguh mengerti semua yang mencakup sebagai energi cinta.

Ibu Teresa dari Kalkuta, India pernah berkata,”Saya yakin bila kita semua memahami hukum emas ini, bahwa Tuhan adalah cinta dan bahwa dia telah menciptakan kita untuk hal-hal yang luar biasa, untuk mencintai dan dicintai, lantas kita akan bisa mencintai satu sama lain seperti Dia mencintai setiap dari kita. Cinta sejati adalah pemberian, anugerah. Bukanlah persoalan seberapa banyak kita memberi, tetapi seberapa banyak cinta yang bisa kita letakkan dalam pemberian itu.”

Karena itu, kata Ibu Teresa, doa perlu bagi kita. Buah dari doa adalah dalamnya iman kita. Buah dari iman adalah cinta, cinta dalam tindakan dan pelayanan. Jadi, tindakan untuk mencinta dan tindakan nyata untuk memberi damai. Inilah yang disebut dengan hukum emas itu.

5 COMMENTS

  1. Trima kasih atas tulisannya. Mengingatkan saya bahwa saya pernah bertanya seperti itu dalam diri saya. Namun karena saya tidak pernah belajar atau membaca atau diberitahu tentang hal-hal seperti itu (tidak punya pengetahuan yang cukup), saya juga tidak tahu jawabannya.

    Saya hanya bisa merenung-renungkan dalam angan-angan saya. Kira-kira kenapa ya?? kata pepatah ‘God created me for a reason’. Tetapi ini adalah pertanyaan sulit yang pernah saya tahu. Buktinya puluhan tahun saya hidup, saya juga tidak tahu jawabannya hehehe….

    Sampai pada akhirnya saya tidak peduli atau tidak mencari tahu jawabannya lagi. Tetapi yang saya tahu, katanya Tuhan punya rencana yang indah dalam diri setiap individu. Lalu timbul pertanyaan lagi, benarkah?? apakah rencana indah-Nya akan selalu terwujud? indah menurut siapa? tentu tiap orang punya persepsi yang beda-beda dalam memaknai rencana indah ini. Pada titik ini saya bingung (tidak paham). Dalam benak saya terpikir terwujud atau tidak rencana indah-Nya itu (mungkin) tergantung pada individunya sendiri, sebagaimana ajaran iman katolik yang saya tahu bahwa Tuhan menganugerahkan kebebasan bagi manusia. Jadi hasil akhir terwujud atau tidaknya rencana-Nya itu tergantung pada pribadi sendiri. Tetapi kalau saya pikir-pikir (kadang-kadang) karena kita tidak tahu hasil akhir dari rencana Tuhan itu (hanya Tuhan sendiri yang tahu), maka sulit juga mengukur pencapaian individu apakah telah sesuai dengan rencana Tuhan. Lantas saya ambil jalan pintas saja melakukan yang terbaik dalam hidup sehari-hari. meskipun terpikir lagi ‘baik’ ini sangat relatif.

    Saya sependapat melalui relationship-lah kita mempelajari semua sikap dan kualitas hidup. Hidup adalah sebuah proses yang tidak akan berakhir sebelum kita mati.
    Jadi, kembali pada pertanyaan awal, kenapa saya hidup?? saya tidak tahu pasti jawabannya :)…

  2. Sepertinya ada yang salah dari komen saya. mestinya sampai simbol 🙂 saja. Bawahnya belum lengkap dan belum di delete heheh..mohon maaf. minta tolong di tip ex heheh…
    Trima kasih

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here