Mengapa Gereja Katolik Rayakan Misa Syukur Gawai Dayak?

0
87 views
Ilustrasi: Pesta adat seni dan budaya Gawai Raa Lamba’ Lalo Dayak Taman di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. (Samuel Bjp)

SEORANG rekan pastor dengan wajah berseri bercerita, kalau dia bersama umat Allah di parokinya belum lama ini mengadakan Misa Syukur Gawai Dayak. Misa syukur ini diadakan sebagai penutup dari seluruh rangkaian gawai Dayak yang diadakan di stasi-stasi. Wajahnya yang berseri itu mau mengatakan, kegiatan tersebut telah berjalan dengan baik dan lancar.

Cara pikir berbeda tentang Gawai Dayak

Di kesempatan lain, saya terlibat diskusi ringan dengan seorang rekan pastor yang lain. Temanya masih seputaran Gawai Dayak. Rekan pastor ini nampaknya kurang begitu sependapat, Gawai Dayak dimaknai sebagai wujud syukur orang Dayak kepada Yang Mahatinggi. Dilakukan setelah selesai panen.

Menurutnya, Gawai Dayak itu pertama-tama adalah gawai nyelapat tahun dan ngumpan batu. Tidak lebih dari itu. Gereja Katolik-lah -ini masih menurut pendapat dia-,yang kemudian mempengaruhi cara berpikir orang Dayak. Sehingga mereka sampai pada pemahaman, kalau Gawai Dayak itu adalah pesta syukur kepada Yang Mahatinggi atas hasil panen yang mereka peroleh.  

Pendapat rekan pastor ini tentu saja mengejutkan saya. Saya pun bertanya demikian ini. Sungguhkah Gereja Katolik telah mempengaruhi cara berpikir orang Dayak sehingga mereka sampai pada pemahaman bahwa Gawai Dayak itu pesta syukur atas hasil panen kepada Yang Mahatinggi?

Ilustrasi: Pekan Gawai Dayak ke-33 di Pontianak. (Gatot Sutopo)

Sudah dari sononya begitu

Saya tidak melihat ada upaya dari pihak Gereja mempengaruhi cara berpikir orang Dayak. Bahwa kemudian orang Dayak bisa menerima pemahaman bahwa Gawai Dayak adalah pesta syukur atas hasil panen kepada Yang Mahatinggi, maka hal itu terjadi lebih karena unsur ungkapan syukur sudah dari kodratnya ada di dalam Gawai Dayak itu sendiri.

Mau Gawai Dayak disebut sebagai nyelapat tahun atau pun ngumpan batu, unsur ungkapan syukur itu memang sudah terkandung di dalamnya.

Bagaimana kita bisa tahu kalau unsur ungkapan syukur sudah terkandung di dalamnya?

  • Melalui kehadiran elemen-elemen adat yang digunakan dalam upacara gawai.
  • Dan salah satu dari elemen itu ialah bahan-bahan sesajen.
  • Kehadiran sesajen, yang oleh orang Dayak dijadikan bahan untuk memberi makan (ngumpan) roh-roh), tidak lain sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Petara, karena telah menganugerahkan hasil panen kepada mereka.
Salah satu stand pameran kerajinan khas Dayak di Gawai Dayak Pontianak. (Br. Kasta MTB)

Sarat dengan ungkapan syukur

Gawai Dayak memang sarat dengan ungkapan rasa syukur. Hal ini yang kemudian disadari oleh Gereja sehingga Hierarki jadi tanpa ragu mengajak orang-orang Dayak datang dan berkumpul bersama untuk merayakan misa syukur Gawai Dayak.

Apakah Gereja mengambil tindakan yang salah dengan mengajak orang Dayak mengadakan misa syukur Gawai Dayak

Misa syukur Gawai Dayak yang Gereja adakan, hemat saya, bukan untuk menggantikan rasa syukur yang sudah ada. Melainkan ini untuk melengkapi dan menyempurnakannya agar semakin berkenan pada Allah Bapa di surga.

Konsili Vatikan II mengajarkan,di dalam Ekaristi Suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja. Oleh karena itu, dengan diundang oleh Gereja untuk berkumpul bersama mengucap syukur kepada Allah dalam Perayaan Ekaristi, sesungguhnya orang Dayak diundang dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan Kristus sendiri, Paskah kita dan Roti Hidup (lih. Presbyterorum Ordinis, 5).

Ilustrasi: Suasana misa syukur mengawali Pekan Gawai Dayak ke-33, 20-27 Mei 2018 di Rumah Radakng Jalan Sutan Syahrir di Pontianak.

Gereja menggali dan mengangkat unsur-unsur positif dalam kebudayaan lokal

Dengan mengajak orang Dayak mengadakan misa syukur Gawai Dayak, ada kesan kalau Gereja hanya menyalurkan kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai yang dimilikinya. Sebuah kesan yang tentu saja tidak sepenuhnya benar.

Sudah dikatakan, diadakannya misa syukur Gawai Dayak itu lahir dari kesadaran Gereja akan kentalnya ungkapan syukur dalam gawai nyelapat tahun dan ngumpan batu. Kesadaran ini kiranya mau mengatakan, Gereja juga berusaha menggali dan mengangkat unsur-unsur positif yang terkandung dalam tradisi Gawai Dayak.

Suka membantu dan tolong-menolong

Dari upaya menggali dan mengangkat unsur-unsur positif itu, Gereja mendapati kalau orang Dayak itu kesukaannya ialah hidup saling berbagi dan saling tolong-menolong. Mereka senang bergotong royong. Gereja tentu patut bersukacita menemukan cara hidup yang demikian dalam umat lokal yang ia layani. Sebuah cara hidup yang sangat diperlukan dalam membangun Gereja sebagai persekutuan umat beriman, di mana semua dipanggil untuk ambil bagian dalam membangun dan bekerja di ladang Tuhan.

Semua turut ambil bagian sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagaimana telah dianugerahkan kepada mereka oleh Allah Yang Mahakasih.

Ilustrasi: Tradisi nugal di kalangan masyarakat Dayak di Kalimantan. (Sr. Ludovika SFS)

Rekan pastor yang mengadakan misa syukur Gawai Dayak di parokinya sesungguhnya sedang dalam upaya melibatkan umat beriman untuk turut ambil bagian dalam hidup menggereja. Ia bercerita, untuk urusan konsumsi, maka setiap stasi diminta menyiapkan menu masakannya masing-masing; kemudian dibawa ke pusat paroki saat hari pelaksanaan misa syukur tiba.

Sebuah gaya berpastoral yang patut diteladani. Gaya berpastoral seperti ini hendak mengingatkan Hierarki Gereja bahwa dalam rangka membangun Gereja sebagai persekutuan, melakukan segala sesuatu untuk Umat Allah bukanlah di atas segala-galanya. Apa yang terpenting ialah melakukannya bersama Umat Allah.

Nyelapat tahun: saat untuk merenung

Nyelapat tahun diartikan sebagai pesta antara babak dalam peladangan. Menurut KBBI, kata “antara” memiliki arti “di tengah-tengah dua waktu”, “tengah-tengah atau pertengahan dua waktu (peristiwa)”. Dimaknai dalam konteks Gawai Dayak, maka orang Dayak sedang berada di pertengahan dua waktu: waktu sesudah proses panen padi selesai dan waktu sebelum memasuki siklus tanam padi berikutnya.

Berada di pertengahan waktu ini menjadi kesempatan yang baik bagi orang Dayak untuk merenungkan kembali proses berladang yang telah mereka lalui. Salah satu hal yang barangkali patut untuk direnungkan ialah apakah segala ritual dan upacara adat sudah mereka indahkan?

Ilustrasi: Sawah dengan padi menguning siap panen. (Sr. Ludovika OSA)

Mengindahkan ritual dan upacara adat dalam berladang sangat penting mengingat bulih padi (mendapatkan hasil panen yang baik) dan taat adat sangat erat kaitannya.

Erik Jensen dalam bukunya The Iban and their Religion menulis demikian:

“Persediaan beras bukan sekedar ukuran kekayaan, namun juga ukuran moral masyarakat. Orang yang baik adalah orang yang menjalankan ritual, mengakui larangan, dan menghormati adat Iban. Orang yang menjalankan ritual yang sesuai dan menghormati larangan yang terkait dengan penanaman padi juga merupakan petani yang bertanggungjawab, yang kemungkinan besar akan mendapatkan panen yang baik.” (hlm. 43).

Penulis adalah imam diosesan Keuskupan Sintang, Kalbar, saat ini tengah studi lanjut di Polandia. (Dok. pribadi)

Saat orang Dayak sedang berada di pertengahan waktu itu, Gereja pun hadir menjumpai mereka. Kehadiran Gereja tentu saja bukan untuk mencerabut makna asli dari Gawai Dayak sebagai nyelapat tahun dan ngumpan batu?

Makna asli itu tidak hilang. Akan tetapi, mengingat mereka yang merayakan Gawai Dayak adalah mereka yang sudah memeluk iman Katolik. Maka kehadiran Gereja tidak lain sebagai ajakan bagi orang Dayak untuk merenungkan “berada di pertengahan waktu” itu dalam terang iman Katolik.

Baca juga: Keuskupan Sintang, Kalbar: Gereja dan Kebudayaan Manusia (5)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here