[media-credit name=”off.com” align=”aligncenter” width=”300″][/media-credit]BEING frightened is an experience you can’t buy
Anthony Price – Sion Crossing (1984)
Para sahabat yang tercerahkan menulis, musuh terbesar dalam hidup ini adalah ketakutan. Dikatakan sebagai musuh terbesar karena rasa takut itu tidak terlihat, tidak terdengar, tidak tercium dan tidak tersentuh. Rasa takut tidak melukai kulit kita dari luar tetapi melumpuhkan jiwa kita dari dalam. Ia tidak memukul kita, tetapi meremukkan kepercayaan diri kita. Karena itulah, ia musuh paling besar sebab kita tidak melawan siapa-siapa kecuali diri kita sendiri.
Ketakutan adalah sebuah proyeksi. Seperti proyektor, ia menampilkan lukisan dan tulisan yang lebih besar dari aslinya. Demikianlah ketakutan, selalu melebih-lebihkan hal-hal yang seyogyanya sepele dan sederhana, tetapi karena sudah dibumbui rasa takut, hal sederhana itu menjadi rumit dan besar. Ketakutan seperti injeksi nyawa bagi belalang untuk menjadi raksasa, bagi seekor semut untuk menjadi monster.
Pepatah Jerman mengatakan, “Fear makes the wolf bigger than he is.” Padahal, sebuah survei yang dilakukan Universitas Michigan, 60% dari ketakutan itu berkenaan dengan hal-hal yang tidak riil, 20%-nya berkenaan dengan hal-hal yang terjadi di masa lalu, 10%-nya berkenaan dengan hal-hal kecil dan hanya 10%-nya yang sungguh-sungguh nyata.
Orang-orang yang takut dengan kegelapan, bisa jadi memiliki kegelapan di dalam dirinya. Orang-orang yang takut dengan salah satu jenis binatang, bisa jadi memiliki salah satu sifat dari binatang itu dalam dirinya. Sesuatu atau seseorang yang kita takuti bukanlah karena sesuatu atau seseorang itu menakutkan, tapi karena sesuatu atau seseorang itu merupakan proyeksi dari dasar batin kita. Sesuatu atau seseorang yang di masa lampau, bisa jadi, yang sudah mengendap dalam rekaman batin kita meskipun ingatan kita pendek untuk membahasakannya.
Musuh terbesar
Karena itulah, ketakutan adalah musuh terbesar kita sebab ketika kita ingin membunuh ketakutan itu, bisa jadi kita justru membunuh diri kita sendiri. Ada orang-orang yang terjun dari lantai bertingkat dan mati tergelepar di tanah karena ingin membunuh ketakutan yang menjalar dalam dirinya. Begitu juga mereka yang memotong nadinya, menggantung lehernya, menenggak racun atau membiarkan dirinya digilas kereta.
Mereka ingin melepaskan ketakutan yang mencengkeram batinnya, tetapi tidak mampu membedakan lagi mana ketakutan dan mana dirinya. Mereka kehilangan pancaran batin dan menjadi buta untuk bisa membedakan mana yang harus dibunuh dan mana yang harus diselamatkan, sebab dirinya dan ketakutannya telah lilit-melilit sehingga tak bisa terbedakan lagi.
Ketakutan selalu berawal ketakterbiasaan. Ketakutan adalah bahasa lain karena kita bersentuhan dengan sesuatu yang berbeda. Sesungguhnya tidak ada yang perlu kita takuti dalam kehidupan ini. Kita hanya perlu untuk memahaminya saja.
Kita hanya perlu untuk membiasakannya saja. Hal-hal yang aneh, berbeda dari kebiasaan, selalu membuat kita merasa tidak aman. Padahal mereka sudah ada, mungkin sebelum kita ada mereka sudah ada, dengan kebenaran yang mereka jalani bertahun-tahun.
Maka takut adalah bahasa keterbatasan yang kita punya, untuk mengatakan bahwa kita perlu belajar lebih banyak, terbuka lebih lebar, bersujud lebih rendah. Pengetahuan, sebagaimana awal kebesaran jiwa, selalu mengalir ke hati yang merendah. Begitu juga kebijaksanaan, sebagai pintu masuk keberanian, selalu hinggap di hati yang tenang dan teduh. (bersambung)