[media-credit name=”israbox” align=”aligncenter” width=”450″][/media-credit]TIDAK ada yang tidak bisa diselesaikan, sebab semua pasti akan selesai, pada waktunya. Kalau bukan kita yang menyelesaikan, yang pasti orang lain yang akan mengambil alih persoalan.
Hidup ini sesungguhnya hanya mengukur, mengukur waktu yang tepat agar tidak tergesa-gesa dan berlambat-lambat, atau mengukur kemampuan yang kita miliki agar tidak ngoyo dan tidak bermalas-malasan.
Pada waktunya kemampuan kita memiliki batas, meskipun pada waktu yang lain batas itu kita mampu lampaui. Lalu, apa yang kita takutkan? Rasa takut meredupkan cahaya agung manusia yang bebas. Ketakutan itu penjara yang mengerdilkan manusia menjadi seonggok daging yang digerakkan oleh dorongan cemas dan resah. Padahal bebas itu sumber kemurnian dan keindahan.
Proyeksi ketakutan
Lars Svendsen, dalam bukunya “A Philosophy of Fear” (2008) menulis, kalau ketakutan itu sebuah paradoks, sebab ia muncul semakin besar ketika manusia berusaha membangun sistem keamanan yang makin ketat. Semakin seseorang membangun pagar rumah tinggi-tinggi, semakin memproyeksikan ketakutan dari si penghuni rumah itu.
Semakin tidak berpagar sebuah rumah, semakin menampilkan apa yang berada di dalam batin sang penghuni, sebuah keterlepasan yang terbuka untuk siapapun datang dan pergi dalam hidup ini. Hotel berbintang atau mall besar selalu menaruh regu pengaman dengan peralatan lengkap pendeteksi benda-benda logam di pintu gerbang.
Itulah proyeksi ketakutan sang pemilik atau pengelola dan ketika kita masuk di dalamnya, kita juga turut terteror dengan radiasi ketakutan itu. Semakin kita membuat pengamanan yang berlebih, semakin mencerminkan ketakutan kita yang terdalam. Inilah paradoksnya.
Mengapa semakin kita pandai dan dewasa, semakin banyak ketakutan yang teridap di batin kita?
Ini saya sadari betul ketika suatu kali dalam perjalanan ke Padang, saya duduk bersebelahan di pesawat dengan seorang anak sekolah dasar kelas V. Anak kecil ini terbang bersama adiknya yang duduk di kursi depannya yang baru duduk di kelas III sekolah dasar. Saya sangat heran karena anak sekecil ini sudah berani pergi menggunakan pesawat udara tanpa dampingan orang tua.
“Saya sudah kangen dengan nenek di Payakumbuh. Saya ingin jemput nenek untuk liburan di Jakarta,” kata Pramudya Gemilang, nama anak yang tertua.
“Apakah adik tidak takut terbang sendiri?” tanya saya.
“Tidak, sebab saya tidak tahu apa rasa takut itu.”
Pabrik ketakutan
Ketakutan itu sebuah injeksi yang diberikan orang tua, lingkungan dan orang-orang yang lebih dewasa. Ketika anak-anak bermain dengan rintik air hujan, orang tua menakuti mereka dengan ancaman sakit. Ketika anak-anak tidak kunjung tidur malam, ancamannya akan dilaporkan ke pak polisi. Ketika anak tidak mau mandi, katanya ada hantu yang akan datang.
Orang-orang dewasa telah menjadi pabrik ketakutan bagi anak-anak, padahal anak-anak yang tak pernah terinjeksi dengan rasa takut, mereka akan menjadi anak luar biasa, seperti yang terjadi dengan Pramudya Gemilang itu.
Tidak ada jalan lain untuk keluar dari ketakutan kecuali menghadapinya dan mengalahkannya. Para bijak menuturkan, “Lakukan apa yang kamu takutkan, maka kamu tidak akan takut lagi.”
Jika setiap kali muncul ketakutan dalam batin kita dan kita menghadapinya, maka kita akan mendapatkan kekuatan, kebesaran hati dan kepercayaan diri. Apa yang membuat kita takut, itulah yang akan membuat kita berani. Jangan takut ketika ketakutan itu datang, sebab ketakutan itu selalu takut kalau kita tidak takut.
You block your dream
when you allow your fear to grow bigger than your faith
(Mary manin Morrissey)
(selesai)