Mengapa Manusia Ingin Dirinya Berarti? (1)

0
1,011 views

Setiap orang ingin membuat dirinya berarti, bukan saja bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi orang lain. Ada seorang ibu yang sangat asing dengan anaknya sendiri. Seorang ibu yang amat kaya mempunyai dua putri. Suaminya seorang kontraktor yang terkenal. Karena hartanya melimpah, maka kedua putrinya disekolahkan di Amerika. Tentu saja anak-anaknya hidup dengan gaya dan model ala Amrik.

Suatu kali kedua putrinya liburan semester. Ibunya amat kangen dan ingin sekali memanjakan putri-putrinya itu. Waktu itu, sang anak sedang di kamar dan ibu masuk kamarnya langsung merangkulnya. Tetapi sang anak berkata, “Mengapa ibu masuk kamar saya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu?” Maka, ibu pun menyahut, “Engkau kan anakku, sayang.” Tetapi anak itu menjawab, “Tapi ma, saya kan punya privacy!” Hubungan jadi tegang dan  sang ibu salah tingkah. Bisanya hanya menangis. Ibu itu sedih karena merasa dirinya tidak berarti bagi anak-anaknya.

Mengapa orang bangun pagi-pagi dan tidur larut malam?  Maka jawabannya ialah bahwa orang itu ingin dirinya berarti. Bukankah seorang kepala keluarga akan merasa tidak berarti di hadapan istrinya kalau ternyata penghasilannya lebih kecil dari istrinya? Mark Antony  (82 – 30 S.M) yang perkasa pun pernah frustasi ketika mengalami kekalahan fatal di Actium, yang dikenal dengan nama “Battle of Actium”. Di sinilah sebenarnya batin Mark Antony galau, karena tidak mampu membahagiakan jantung hatinya dan akhirnya muncul bayangan Julius Caesar (100 – 44 S.M) yang dengan mudah mampu menaklukkan musuh dengan gemilang.

Klimaks dari kisah karangan William Shakespeare ini ialah bahwa Mark Antony melarikan diri dari kenyataan dengan minum-minuman sampai mabuk.  Namun, dirinya menjadi semangat dan merasa berarti ketika Cleopatra (69-30 S.M) berbisik kepadanya, “Kau sangat berarti bagiku.” Kata-kata itu berbunyi merdu di telinganya sehingga dirinya berani maju berperang, meskipun harus mengalami kekalahan di tangan Gaius Octavius (63 Seb. M – 14 S.M), yang kemudian dikenal dengan nama Kaisar Agustus. Kita tidak akan sangsi bahwa orang bisa berjuang sampai titik darah  penghabisan karena ingin merasa berarti bagi orang yang dicintai.

Kisah drama tragis seperti Hamlet misalnya hendak melukiskan bagaimana dalam keragu-raguannya ia hendak menunjukkan keberartiannya di hadapan ibunya, Ratu Gertrude. Hamlet mau menyelamatkan ibunya dari cengkeraman si hati busuk yang adalah pamannya sendiri yang bernama Claudius.

Perjuangan Hamlet ialah bahwa dia adalah sebagai putra mahkota, maka dalam hidupnya dia berusaha menjadi “pahlawan” dengan membalas kematian ayahnya. Sang idealis, Don Quixote de la Mancha, karya sastra terkenal Miguel de Cervantes Saavedra juga hendak melukiskan petualangan “sang pahlawan” yang ingin menumpas kebatilan, tetapi ternyata kejahatan itu selalu ada dan malah makin merajalela. Dari sinilah kita boleh berefleksi, banyak orang yang ingin membuat dirinya berarti tetapi karena kurang realistis, yang terjadi adalah kegetiran jiwa seperti Hamlet dan kekonyolan seperti yang dilakukan oleh Don Quixote.

Kebutuhan dasar
Merasa diri berarti merupakan kebutuhan dasar manusia yang menurut bahasa Abraham Maslow dalam “Mazhab Ketiga” diartikan sebagai aktualisasi diri (self actualization). Seorang yang mampu mengakualisasikan dirinya, dia akan berarti bagi orang lain. Misalnya, betapa bahagianya ketika seseorang baru belajar menulis dan ternyata artikelnya dimuat dalam suatu media massa. Ia merasa berarti bagi orang lain, karena opininya dibaca oleh banyak orang.

Dengan demikian,  keberartian hidup itu dimulai dari mengerjakan hal-hal yang kecil yang akhirnya diakui oleh orang lain. Pengakuan dari orang lain itu, yang akhirnya mendorong seseorang untuk lebih dan lebih lagi mencoba untuk berbuat, sehingga dirinya semakin merasa berarti.

Dan memang self actualization itu alangkah baiknya jika sudah dialami ketika seseorang masih dalam tahap pertumbuhan. Dan kita patut bersyukur bahwa zaman sekarang ini ilmu pengetahuan berkembang pesat dan ini berpengaruh bagi pendidikan anak. Ada intelligent quotient, emosional quotient dan spiritual quotient. Semua ini hendak menunjukkan   betapa besar perhatian kita bagi generasi penerus kita.

bersambung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here