Amerika Serikat, SESAWI.NET – Mungkin para atheis ini tidak akan menemukan makna dalam perayaan kelahiran Yesus Kristus yang sering dirayakan di ujung tahun jelang tahun baru. Namun banyak atheis merayakan tradisi pergi ke gereja hanya demi anak-anaknya. Demikian sebuah penelitian terbaru menyebutkan.
Para periset yang memfokuskan penelitiannya pada para ilmuwan atheis ini menemukan bahwa 17 persen para atheis ini rupanya menghadiri kebaktikan lebih dari sekali selama setahun. Namun mereka rupanya menghadirinya hanya demi alasan sosial dan personal. Begitu yang mereka katakan pada para peneliti.
“Penelitian kami membuktikan betapa eratnya kaitan antara keluarga dan agama di masyarakat Amerika Serikat. Begitu kuat sehingga dalam masyarakat yang religiousitasnya kurang justru menganggap agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan pribadi mereka,” ujar Sosiolog dari Universitas Rice Elaine Howard Ecklund yang juga mengepalai penelitian ini.
Ecklund dan koleganya melaporkan temuan mereka di Bulan Desember ini dalam jurnal Scientific Study of Religion.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ecklund mengungkapkan bahwa garis antara kepercayaan dan tidak kepada Tuhan biasanya tidak kentara benar. Ambil contoh misalnya dalam riset yang dirilis Bulan Juni 2011 dalam Jurnal Sosiologi Agama, Ecklund dan koleganya menyebutkan temuannya bahwa 20 persen ilmuwan atheis justru “spiritual” meski secara formal tidak religious.
Penelitian terakhir, para peneliti memilih sebuah sampel dari 275 peserta dari survei besar yang diikuti oleh 2.198 ilmuwan di 21 fakultas elit universitas-universitas di Amerika Serikat. Separuh dari sampel survei itu menyebutkan bahwa mereka adalah orang yang religious, sementara yang lain tidak.
Para orangtua atheis ini setelah disuruvei juga mempunyai alasan tersendiri ketika menghadiri kebaktikan di gereja. Beberapa menyebutkan kehadirannya dalam kebaktian karena pasangannya religious sehingga mendorong mereka untuk bisa hadir dalam kebaktian setiap kali ada. Yang lain bilang bahwa mereka menikmati kehidupan komunitas yang dihadirkan dalam gereja, masjid, vihara atau lembaga agama lain.
Barangkali yang paling menarik, kata Ecklund, adalah bahwa banyak ilmuwan atheis membawa anak-anaknya saat kebaktian sehingga mereka (anak-anak) dapat memiliki pandangan dan pengalaman tentang Tuhan dan spiritualitas.
“Kami pikir para individu ini memang tepat dan sejalan dalam mengenalkan anak-anaknya pada tradisi-tradisi agama, tetapi kami menemukan bahwa sebenarnya keyakinan dan motivasi mereka bertolak belakang,” jelas Ecklund. “Mereka ingin agar anak-anak memiliki pilihan dan tentu saja ini sangat konsisten dengan identitas ilmu pengetahuan yang mereka geluti sehari-hari yang mengajarkan agar anak-anak mereka diberi banyak sumber pengetahuan untuk bisa dipilih.”
Satu contoh dari para peserta survei menceritakan bahwa keluarganya bertumbuh dalam tradisi katolik yang kuat. Namun kemudian keluarga ini kemudian meyakini bahwa ilmu pengetetahun dan agama rupanya tidak cocok. Namun, keluarga ini tidak menjelaskan dan mewariskan keyakinan ini kepada anak perempuannya. Mereka justru menyodorkan banyak pilihan agama pada anaknya agar si anak ini bisa memilih sendiri termasuk kristen, islam dan budha.
“Saya tidak mengindoktrinasi dia bahwa dia harus percaya pada Tuhan,” ujar keluarga tersebut.”Saya juga tidak mengindoktrinasi dia agar tidak percaya pada Tuhan.”
Saya ingin bertanya , manakah yang lebih baik ?; siapakah yang lebih jujur? ; mereka yang menjalankan Spiritualitas Tanpa Tuhan tetapi mempunyai kesadaran spiritual atau kita yang religius , pergi ke gereja , namun tidak menyadari kehendak Tuhan dan tidak bisa mengikuti kehendak Tuhan .
Kalau saya membaca Andre Compte – spiritualitas tanpa Tuhan , begitu banyak umat ex Katolik di Eropa meninggalkan Gerejanya dan memilih menjalankan Spiritualitas Tanpa Tuhan dan ternyata ada uskup yang menyadari ini lebih baik dari pada mereka hanyut pada hal 2 dunia tanpa kesadaran spiritual akan Kasih ; akan perlunya hidup yang baik .
Mungkin bapak uskup berfikir sbb ; dengan menjalankan spiritualitas tanpa Tuhan , umat tsb akan lebih memungkinkan untuk mengenal Tuhan .