Pertengahan Mei 2011, saya menempuh perjalanan Jakarta – Manado dengan pesawat Lion Air. Kami duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang tidak saya kenal sama sekali. Dalam perjalanan, bapak itu bercerita tentang dirinya dan pengalamannya. Dalam berbicara kadang-kadang senang, tetapi tiba-tiba penuh emosi dan akhirnya menunduk sedih. Setelah pesawat landing, bapak itu pun berkata kepada saya, “Adik, terima kasih ya! Dengan curhat, hati saya sudah menjadi lega dan plong rasanya. Sekali lagi terima kasih!”
Dalam hidup bermasyarakat, komunikasi dengan orang lain merupakan “condition sine qua non” atau syarat mutlak. Dipacu nafsu menemukan bahasa perdana manusia, Kaiser Friderich II (1194 – 1250) melakukan eksperimen eksentrik. Dua bayi yang baru lahir diasingkan dari rangsangan bahasa. Tidak seorang pun diperbolehkan berbicara dengan mereka. Percakapan di lingkup mereka dilarang keras.
Kaiser berasumsi, didorong kebutuhan kemunikatif, keduanya otomatis akan berbicara bahasa asli manusia dari zaman sebelum petaka menara Babel, biarpun tak ada stimulus linguistis. Walau kondisi fisik bugar, mereka akhirnya meninggal akibat kebisuan. Eksperimen gagal total dan dibayar mahal. Bagi manusia, berbahasa bukanlah sekedar media komunikasi, tetapi setara makanan, minuman di samping kebutuhan biologis dan sosial (Kompas 8 November 2011).
Pada dasarnya, setiap orang memiliki beban dan berharap bahwa akan menjadi ringan. Perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain bisa meringankannya. Beban pikiran itu yang seringkali membuat hidup kita menjadi kesuh. Setelah pikiran-pikiran itu dicurahkan, sepertinya bahu menjadi ringan dan bisa tegak kembali.
Abdoel Moeis (1883 – 1959) dalam Salah Asuhan, mengisahkan kedua wanita: mertua dan menantu yang sangat akrab. Kedekatan ini mungkin jarang terjadi antara ibu Hanafi dan Rapiah. Mereka berdua memiliki beban yang sama, yakni sikap dan kehidupan Hanafi. Namun dengan saling mencurahkan isi hatinya, mereka bisa bertahan menghadapi situasi yang demikian.
Kita jadi teringat Dewa Atlas dalam mitologi Yunani. Atlas digambarkan sebagai dewa yang memikul bumi ini di bahunya. Ia tidak memiliki kesempatan untuk meletakkan bumi itu, sebab jika sedetik saja Atlas meletakkan bumi, maka akan menimbulkan bencana. Betapa berat beban Atlas, yang melakukan tugas-pekerjaannya dan tidak pernah bisa membagikannya kepada yang lain.
Arif Mansur Makmur dalam Tesaurus plus, menerangkan bahwa curhat memiliki arti untuk meringankan (upload dan unburden) permasalahannya kepada yang lain. To upload his troubles on someone, mencurahkan permasalahan-permasalahannya kepada seseorang. Dalam arti ini, curhat pun dialami oleh para santo maupun santa.
Wilfrid McGreal dalam Yohanes Salib, menuliskan bagaimana ketika Yohanes Salib (1542 – 1591) mengalami kegelapan, ia mencurahkan isi hatinya kepada Teresa Avila (1515 – 1582). Demikian pula sebaliknya. Cum amico amara et dulcia communicate velim, yang berarti: aku menginginkan agar membagikan segala sesuatu dengan sahabat, baik yang pahit maupun yang manis (baik dalam suka maupun duka). bersambung