Jumat, 28 Maret 2025
Hos. 14:2-10.
Mzm. 81:6c-8a,8bc-9,10-11ab,14,17; Mrk. 12:28b-34.
KETIKA mengasihi menjadi hukum yang terutama, maka kasih harus menjadi dasar dari setiap tindakan dan keputusan dalam hidup kita.
Kasih bukan sekadar perasaan atau kata-kata indah, tetapi sebuah komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, mencintai-Nya dengan segenap hati, dan mencintai sesama seperti diri sendiri.
Kasih yang sejati menuntun kita untuk sabar terhadap orang lain, murah hati dalam berbagi, rendah hati dalam berinteraksi, dan tulus dalam melayani. Kasih tidak mencari keuntungan sendiri, tetapi selalu berusaha membawa kebaikan bagi sesama.
Maka kualitas iman kita sebagai pengikut Kristus tidak diukur dari seberapa sering kita beribadah, melainkan dari sejauh mana kita mampu menghidupi kasih dalam keseharian.
“Saya merasa disadarkan sewaktu mengunjungi seorang sahabat yang lama menghilang dari kebersamaan,” kata seorang bapak.
“Bukan tanpa sebab dia tidak muncul lagi dalam acara dan kegiatan baik di paroki maupun di lingkungan.
Itu semua disebabkan dia harus mengurusi ibunya yang sakit dan adiknya yang mengalami keterbelakangan mental.
Sebuah keputusan yang sangat sulit, karena teman saya ini, seorang aktivis yang mempunyai banyak bakat. Kehadirannya senantiasa diharapkan oleh banyak orang.
Namun dia memilih untuk mencurahkan perhatian dan kasihnya pada ibu dan adiknya. Dia melihat dalam diri ibu dan adiknya sebuah panggilan untuk mencintai dan mengasihi dengan sepenuh hati.
Dia merasa dipanggil untuk menemukan Tuhan di dalam rumahnya sendiri, dipanggil untuk melayaniTuhan dalam diri yang lemah dan menderita, dalam diri ibu dan adiknya,” ujar bapak itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,” Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.”
Perikop ini, menunjukkan bahwa ibadah sejati bukan hanya tentang ritual atau persembahan materi, tetapi terutama tentang hati yang penuh kasih.
Sering kali, kita terjebak dalam pemahaman bahwa kedekatan dengan Tuhan hanya diukur dari seberapa sering kita berdoa, beribadah, atau memberi persembahan. Namun, tanpa kasih yang tulus kepada Allah dan sesama, semua itu menjadi hampa.
Tuhan tidak mencari pengorbanan yang hanya bersifat lahiriah, tetapi menghendaki hati yang benar-benar mencintai-Nya dan menunjukkan kasih itu dalam kehidupan sehari-hari.
Mengasihi Allah dengan segenap hati berarti menjadikan Dia pusat hidup kita, menaati firman-Nya, dan berusaha hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Mengasihi sesama seperti diri sendiri berarti memperlakukan orang lain dengan hormat, peduli terhadap mereka, mengampuni, dan berbagi kebaikan tanpa pamrih.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mengasihi sesamaku dengan segenap hati?