ISTILAH Pak Ogah atau Polisi Cepek tentu tidak asing bagi kita. Tidak susah mencari mereka di tengah kemacetan kota-kota besar. Tokoh Pak Ogah bisa bermacam-macam, mulai dari segerombolan anak muda, bapak-bapak, bahkan orang yang memiliki keterbatasan fisik melakukan pekerjaan ini.
Pekerjaan mereka adalah membantu menyeberangkan atau membelokkan kendaraan roda empat dengan harapan mendapatkan uang seikhlasnya dari pemilik kendaraan tersebut. Keberadaan mereka yang selalu ada di setiap persimpangan, belokan, atau putaran jalan, memang menimbulkan pro dan kontra.
Untuk beberapa kendaraan yang kesulitan berbelok atau memutar karena tidak diberi kesempatan oleh pengguna kendaraan lain, kehadiran mereka sangat membantu. Namun bagi sebagian orang kehadiran mereka menjadi sebuah gangguan karena ulah Pak Ogah inilah jalanan malah menjadi macet.
Mengapa keberadaan Pak Ogah menjamur?
Menurut saya hal ini tak lepas dari karakter pengguna jalan di kota besar yang tidak rela memberi kesempatan untuk mobil lain menghalangi jalan mereka walaupun hanya untuk sekedar berbalik arah atau berbelok. Masyarakat kita tidak sabaran dan cenderung oportunis kalau berkendara. Kemacetan yang ditimbulkan karena banyaknya kendaraan pribadi serta buruknya sarana angkutan umum memang membuat pengemudi menjadi mudah stres dan cenderung tidak mau mengalah.
Mestinya polantas
Idealnya, bila terjadi kemacetan Polisi Lalu Lintas lah yang bertugas mengatur dan mengurai kemacetan tersebut.Namun, kenyataannya sering kali yang kita temukan malahan polisi tak berseragam inilah yang mengatur jalan. Bahkan ada polisi yang memilih duduk di posnya dan membiarkan tugasnya ‘diambil alih’ oleh polisi cepek itu.
Tetapi, dibalik itu semua, ada sekelompok manusia yang menghidupi dirinya dan keluarganya dari profesi ini. Mereka rela mencari rezeki di tengah teriknya mentari, di antara guyuran hujan, kemacetan, umpatan, dan bahaya akan tertabrak kendaraan yang melintas. Mereka rela melakukan itu karena apa yang mereka kerjakan mendapatkan hasil yang lebih besar dan lebih cepat daripada mereka harus berdagang.
Tingginya angka pengangguran, membuat beberapa masyarakat kita rela melakukan apa saja. Bekerja sebagai Pak Ogah menjadi pilihan karena inilah sektor informal yang menurut mereka halal dan tidak terkesan meminta-minta. Bayangkan saja bila dalam sekali melintas mobil memberi mereka seribu rupiah. Misalkan dalam satu jam ada 50 mobil yang melintas, maka Rp50.000,- sudah di tangan mereka.
Berapa rupiah kalau dalam dua jam, tiga jam, atau empat jam?
Setor jatah
Lalu apakah memang semudah itu mendapatkan uang di jalanan? Ternyata tidak. Berhadapan dengan pengguna jalan itu sendiri, preman setempat, bahkan ada yang harus menyetor ke oknum menjadi risiko yang harus mereka hadapi. Upeti yang diberikan kepada oknum kadang lebih besar daripada pendapatan mereka. Itu harus dilakukan agar mereka masih bisa menarik keuntungan di daerah itu. Sebab apabila mereka tidak mau menyetor, masih banyak orang yang memperebutkan lahan pekerjaan mereka itu.
Menarik menjadi permenungan kita, sebagai pengguna jalan apakah kita masih bisa bersabar di tengah himpitan kemacetan dan bobroknya sistem transportasi kita? Apa yang bisa kita berikan menghadapi situasi sosial seperti itu?
Photo credit: Snydex WordPress (Ist)